Terdakwa Adam Rahayaan Resmi Ajukan Amnesti ke Presiden
FaizalLestaluhu
25 Aug 2025 20:20 WIT

Terdakwa Adam Rahayaan Resmi Ajukan Amnesti ke Presiden

AMBON,AT.--Terdakwa Mantan Walikota Tual, Adam Rahayaan resmi megajukan Amnesti alias penghapusan hukuman atas pidana penjara yang dijalaninya saat ini, ke Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto.

Amnesti tersebut dilakukan Adam Rayaaan lantaran saat ini dirinya telah dihukum oleh Majelis Mahkama Agung (MA) RI, dengan pidan selama 7 Tahun Penjara, terkait korupsi penyaluran 200 ton Cadangan Beras Pemerintah (CBP) Kota Tual tahun 2016–2017, dengan kerugian negara sebesar Rp1,8 miliar.

Putusan tersebut dibacakan oleh Majelis Hakim Agung yang dipimpin Dwiarso Budi Santiarto dengan anggota Dr. Agustinus Purnomo Hadi dan Dr. H. Achmad Setyo Pudjoharsoyo, belum lama ini.

Dalam amar putusannya, MA menolak permohonan kasasi dari Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Maluku Tenggara maupun dari pihak terdakwa. Namun, MA memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi Ambon Nomor 24/PID.SUS-TPK/2024/PT AMB tanggal 20 November 2024 dengan mengubah pidana menjadi 7 tahun penjara tanpa kewajiban membayar uang pengganti, serta pidana denda sebesar Rp400 juta subsider 3 bulan kurungan.

Namun untuk membeasakan diri dari jeruji besi, terpidana Adam Rahayaan memilih menempuh upaya hukum luar biasa dengan mengajukan Peninjaun Kembali (PK) di Pengadilan Tipikor Ambon, termasuk bermohon amnesti ke Presiden Prabowo. 

"PK sudah jalan. Tadi agenda pembacaan tanggapan oleh Jaksa. Nah, kita juga sudah Surati, bermohon ke Presiden untuk mendapatkan amnesti," ungkap pengacara Adam Rahayaan, Jhon Berhitu kepada awak media di Pengadilan Negeri, Ambon, Senin, (25/8). 

Ia mengatakan, permohonan Amnesti itu telah dimasukan ke Presiden Prabowo melalui Kementerian Sekertaris Negara (Mendeng), Komisi III DPR RI, Departemen Kehakiman dan Kejaksaan Agung di Jakarta. 

Menurut Berhitu, kliennya dalam kapasitas sebagai Walikota Tual saat itu dalam tindakannya adalah terkait kemanusian. Penyaluran Cadangan Beras Pemerintah saat itu untuk mengatasi krisis pangan yang melanda daerah tersebut. 

Kebijakannya, tegasnya,  Adam Rahayaan adalah murni melindungi masyarakat dari kelaparan, gejolak sosial, dan ketidakstabilan ekonomi akibat keterlambatan distribusi beras saat itu.

“Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, salus populi suprema lex. Keputusan Adam Rahayaan harus dilihat dalam konteks urgensi situasi saat itu, bukan sekadar dari kacamata prosedur administratif,” ujarnya.

Olehnya itu, lanjut dia, upaya PK dan permintaan amnesti diharapkan dapat dikabulkan. Mengingat, utusan MA dalam pertimbangannya di halaman 29 , hakim secara eksplisit menyatakan, pidana yang dijatuhkan kepada kliennya perlu diperbaiki. 

Sikap hakim dalam pertimbangannya itu, Jelas Berhitu, menjadi indikasi adanya ketidak tepatan atau ketidakseimbangan antara perbuatan yang didakwakan dengan pidana yang dijatuhkan.

Tak hanya itu, MA juga menegaskan dalam putusannya menyatakan, perbuatan terdakwa tidak ikut menikmati kerugian keuangan negara tersebut, sehingga terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana tambahan berupa uang pengganti.

“Bagi kami tim hukum, fakta ini menjadi alasan kuat untuk mengajukan PK, karena tidak terpenuhinya unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain dalam tindakannya. Sementara Amnesti itu, berkaitan dengan kebijakannya sebagai Kepala Daerah untuk melindungi rakyat dari kemiskinan," jelasnya.

Sebelumnya, salah satu anggota tim hukum Adama Rahayaan, Jack Wenni menyebut, langkah PK Adam Rahayaan diperkuat yurisprudensi MA terhadap sejumlah putusan MA yang mendukung argumentasi hukum mereka. Pertama, Putusan No. 44 PK/Pid/2007 – kekeliruan penilaian hakim atas peran terdakwa dan ketiadaan keuntungan pribadi dapat menjadi alasan PK.

Kemudian Putusan No. 12 PK/Pid.Sus/2012 dan No. 97 PK/Pid.Sus/2011, jika terdakwa tidak terbukti menikmati hasil tindak pidana atau bertujuan memperkaya diri, maka unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain” tidaklah terpenuhi.

Selanjutnya, putusan No. 42 K/KR/1965 (Machroes Effendi) dan No. 81 K/KR/1973 (Otto Danaatmaja), tindakan pejabat yang mendistribusikan bantuan demi kepentingan publik tanpa keuntungan pribadi tidak dapat dikategorikan sebagai korupsi, meski prosedur administrasi tidak sempurna.

“Nah, Adam Rahayaan adalah pejabat yang mengambil risiko demi rakyat. Vonis ini harus ditinjau ulang demi tegaknya keadilan,” tandasnya.

Diketahui, Amnesti merupakan salah satu hak presiden di ranah yudikatif sebagai akibat penerapan sistem pembagian kekuasaan. Presiden dapat memberikan amnesti kepada orang-orang yang telah melakukan tindak pidana setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung (MA) atas permintaan Menteri Hukum dan HAM.

Amnesti diatur dalam Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1954. Di Pasal 1 disebut, Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi Amnesti dan Abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman.

Sebelum amendemen Undang-Undang Dasar 1945, amnesti menjadi salah satu hak absolut Presiden di samping grasi, abolisi, dan rehabilitasi. Namun, setelah amendemen 1945, Presiden harus mendapatkan pertimbangan MA atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan tujuan untuk meningkatkan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan oleh Presiden.

Praktik amnesti pernah diterapkan kepada para pemberontak atau tahanan politik Indonesia pada era Orde Lama dan Reformasi. (Jardin) 

Dapatkan sekarang

Ambon Terkini, Ringan dan cepat
0 Disukai
Lihat Juga