AMBON,AT-Fery Tanaya kembali mangkir dari panggilan tim Penyidik Kepolisian Daerah (Polda) Maluku. Pemilik PT. Waenebe Wood Industri (WWI) ini merupakan terlapor dalam kasus dugaan penyerobotan hutan adat milik masyarakat adat Desa Waehata, Kecamatan Waelata, Kabupaten Buru.
Direktur Direktorat Reserese Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Maluku, Kombes Pol. Andri Iskandar mengatakan, panggilan terhadap Fery Tanaya sudah dilayangkan sebanyak dua kali, namun terduga tak hadir.
"Sudah diundang 2x (dua kali-red), tapi yang bersangkutan belum hadir," ungkap Kombes Andri saa dikonfirmasi, Senin (24/2).
Kombes Andri tak membeberkan alasan dibalik ketidakhadiran Fery Tanaya. Tapi ia memastikan, pemilik PT WWI itu dipanggil untuk memberikan keterangan terkait laporan yang dilayangkan masyarakat adat Buru.
Sebelumnya, Kombes Andri mengklaim telah memeriksa sejumlah saksi untuk membongkar dugaan kejahatan tersebut.
"Iya, sementara dilakukan pemeriksaan saksi-saksi," ujarnya, Sabtu (8/2) lalu.
Fery Tanya diduga mengantongi izin untuk membabat hutan di Pulau Buru seluas 33 ribu hektar. Dia dilaporkan perwakilan ahli waris Marga Nurlatu Kakunusa, pertengahan Januari 2025.
Penyerobotan lahan adat berupa penebangan ilegal pohon Damar (Agathis) dan Meranti yang dilakukan PT WWI, diduga kuat melanggar hak-hak masyarakat adat dan berbagai regulasi lingkungan hidup yang berlaku di Indonesia.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, pemilik hutan adat, Kerek Nurlatu juga sudah dipanggil untuk dimintai keterangan pada Kamis (30/1). Dalam laporannya, sejak November hingga Desember 2024, PT WWIÂ diduga telah melakukan penyerobotan lahan adat di Desa Waehata.
Aktivitas tersebut mencakup penebangan pohon Damar dan Meranti tanpa izin serta pengabaian hak ulayat masyarakat adat. Tindakan ini telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang signifikan, hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat adat yang bergantung pada hasil hutan, dan kerusakan kawasan keramat yang memiliki nilai historis dan spiritual tinggi.
Masyarakat adat telah menyerahkan dokumen kepemilikan ulayat Marga Nurlatu Kakunusa, dokumentasi aktivitas ilegal, bukti kerusakan lingkungan dan surat pernyataan keberatan masyarakat adat ke pihak kepolisian untuk mendukung laporan yang dibuat.
Masyarakat adat Waehata juga menginginkan agar izin operasional PT. WWI dicabut oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta pembayaran ganti rugi, baik materiil maupun imateriil, atas kerusakan lingkungan dan hilangnya mata pencaharian masyarakat adat.
"Masyarakat adat juga telah meminta Perlindungan hukum dari Komnas HAM dan Ombudsman Perwakilan Maluku, agar segala bentuk aktivitas penebangan dan eksploitasi sumber daya alam di wilayah adat Desa Waehata segera dihentikan, serta penarikan PT WWI dari wilayah adat Desa Waehata," pintah mereka dalam laporannya itu.
Adapun dasar hukum yang diduga dilanggar Fery Tanaya melalui PT WWI bertentangan dengan sejumlah regulasi, di antaranya yakni pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tentang Pengakuan hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam.
Kemudian, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri LHK Nomor 21 Tahun 2019 tentang Hutan Adat dan Hutan HAK, dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa Hutan Adat adalah hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi hutan negara. (Jar)
Dapatkan sekarang