AMBON, AT--Sekolah bukan lagi tempat aman bagi siswa. Sejumlah sekolah bahkan dijadikan lokasi pelecehan seksual terhadap siswa belakangan ini. Pelakunya para guru maupun siswa.
Seorang guru Sekolah Dasar (SD) di Kabupaten Seram Bagian Barat berinisial SW, 56 tahun, mencabuli siswinya berinisial JCB (12). Pelaku melancarkan aksi bejatnya terhadap korban di perpustakaan sekolah pada Kamis, 2 Februari 2023 lalu.
Kasus ini terbongkar setelah korban melaporkan kepada orangtuanya usai insiden yang menimpanya. Pelaku telah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka dan mendekam di tahanan Polres SBB.
Sementara di Pulau Gorom, Kabupaten Seram Bagian Timur, seorang guru SMA berinisial JR mencabuli dua siswinya sebanyak lima kali sejak Januari hingga awal Februari 2023. Aksi bejat JR dilakukan di salah satu ruang belajar sekolah.
Kasus ini terungkap ketika salah satu korban menceritakan kejadian yang menimpah dirinya kepada orang tuanya. JR telah ditetapkan sebagai tersangka dan kini mendekam di penjara Polres SBT.
Kasus lainnya dan menyita perhatian publik adalah pemerkosaan terhadap seorang siswa MTs di Bula sejak September dan Oktober 2022. Tujuh pelaku yang merupakan siswa SLTA berinisial ANR, VR, HA, FM, AR dan FR.
ANR diketahui merupakan anak anggota DPRD SBT dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). ANR diduga otak dibalik perbuatan bejat itu.
Peristiwa ini diketahui keluarga korban pada Januari 2023 lantaran melihat kelakuan korban yang sering berdiam diri dan tak mau pergi ke sekolah. Kasus ini kemudian dilaporkan ke Polres SBT,15 Februari 2023 dan masih diusut.
Ketua Yayasan Gasira Maluku, Lies Marantika kepada Ambon Ekspres, Senin (20/3) mengaku, kekerasan seksual marak terjadi di satuan pendidikan pendidikan pada awal 2023. Misalnya, beredarnya video mesum di media sosial yang melibatkan siswa SMK dan SMA di Ambon.
" Iya di tahun 2023 marak sekali kasus kekerasan seksual yang lokusnya itu lembaga pendidikan. Bahkan di kota Ambon pun di awal bulan Maret 2023 sempat viral video adegan "panas" yg melibatkan siswa SMK dan SMP. Hal ini tentunya sangat disayangkan, " kesalnya Lies.
Menurut aktivis perempuan dan anak asal Maluku ini, beredarnya video tersebut dikalangan anak - anak SMP itu tentu saja menggiring anak - anak berada dalam situasi bahaya. Hal tersebut menunjukkan bahwa dunia pendidikan di Maluku sedang dalam keadaan sakit.
Karena itu, dia meminta dengan tegas baik kepada pemerintah daerah provinsi maupun kebupaten dan kota agar segera menyalakan lampu tanda bahaya di lembaga pendidikan.
"Jangan main-main dengan dampak buruk tiap kasus. Tidak hanya kepada korban secara langsung, tapi juga kepada anak - anak lainnya, " tegas dia.
Menurut Marantika, pemerintah daerah wajib segera mengambil langkah pemulihan bagi korban yang notabenenya adalah anak sekolah yang masih di bawah umur. Sebab berdasarkan informasi yang perolehnya bahwa Dinas Perlindungan Anak dan Perempuan hanya mengurus proses hukum di Polres, itu pun hanya berfokus pada pelaku.
Mestinya, kata dia, perlindungan terhadap kasus kekerasan seksual harus diberlakukan secara adil baik kepada pelaku maupun korban. Selain itu, Pemerintah harus memastikan terpenuhinya hak pemulihan secara paripurna. " langkah ini urgen tapi belum ditempuh oleh pemerintah, " katanya.
Menurut dia, semua pemangku kepentingan harus menggencarkan edukasi sebagai upaya preventif. Disamping itu, manajemen pendidikan di tiap sekolah harus dibenahi dengan menerapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) perlindungan anak dari kekerasan seksual.
" Dengan maraknya kasus ini, saya minta agar sekolah menerapkan SOP perlindungan anak dari kasus kekerasan seksual dan ada tim khusus untuk mengawasi SOP tersebut. Jika sekolah berhasil menerapkannya, maka pemerintah harus memberikan reward kepada sekolah dan punishment untuk sekolah (kepala sekolah) yang tidak berhasil atau di sekolahnya terjadi kasus kekerasan seksual, " pungkasnya.
Sementara itu, Direktur Yayasan
Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LAPPAN) Maluku, Baihajar Tualeka mengatakan, untuk menindaklanjuti masalah kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur atau di bangku pendidikan, maka guru sebagai pelaku harus ditindak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
" Sebagai pelakunya, guru harus ditindak sesuai dengan perbuatannya bahkan harus dipecat. Selain itu, pasal yang diberikan pun harus berat sesuai dengan undang - undang Perlindungan Anak, " tegas Tualeka.
Guru sebagai pendidik dan pelindung sekaligus orang tua ketika siswa berada di lingkungan sekolah. Olehnya itu, satuan pendidikan juga harus menciptakan rasa aman dan nyaman bagi anak - anak selama mengikuti proses pendidikan di sekolah.
" Prinsipnya, jika ada korban, maka sekolah harus menyediakan ruang pemulihan bagi korban serta memberikan dukungan bagi korban agar hak pendidikannya tetap terpenuhi, " singkatnya. (AKS)
Dapatkan sekarang