AMBON,AT-Pilkada serentak akan berlangsung 27 November 2024 mendatang, menjadi perhelatan demokrasi besar atau agenda nasional yang akan dihadapi setiap warga negara Indonesia.
Khusus untuk Provinsi Maluku, sudah banyak figur yang terdaftar sebagai bakal calon kepala daerah di berbagai partai politik, baik itu sebagai Calon Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati, maupun wali kota-wakil wali kota.
Untuk memenuhi syarat sebagai pasangan calon Gubernur untuk mendaftar di KPU, para bakal calon wajib mengantongi sembilan kursi partai politik di parlemen DPRD Maluku, sementara untuk bupati/wali kota diharuskan tujuh kursi.
Itu artinya, dengan komposisi perolehan kursi di DPRD baik Provinsi maupu kabupaten/kota, untuk memenuhi syarat sembilan atau tujuh kursi tersebut, dibutuhkan gabungan dukungan partai politik atau koalisi.
Namun seiring berkembangnya demokrasi di Indonesia, untuk mendapat dukungan partai politik dalam bentuk rekomendasi, memiliki kualitas kepemimpinan manajerial pengalaman bagus serta survei yang tinggi saja tidak cukup jika tak didukung finansial memadai.
Disebut-sebut, setiap figur di Maluku yang ingin mendapatkan kursi partai politik harus mempersiapkan anggaran tidak sedikit. Kos demokrasi mampu menembus angka miliaran rupiah.
Kondisi ini pun memantik perhatian sejumlah pihak. Salah satunya pengamat politik asal Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, Said Lestaluhu, yang menilai hal itu merupakan konsekuensi demokrasi.
"Ini memang konsekuensi dari demokrasi yang kita anut semakin liberal. Jadi demokrasi liberal itu, dia membuat kos politik makin mahal, karena hampir semua tahapan proses membutuhkan anggaran atau logistik besar," Said, Kamis (18/7) kemarin.
Apalagi, lanjut Said, Pilkada November mendatang digelar disaat Pileg-Pilpres baru selesai dilakukan pada Februari 2024 lalu, yang mana saat itu semua partai telah menghabiskan anggaran cukup besar.
"Oleh karena itu di Pilkada November 2024 nanti, bisa jadi mereka berusaha kembali untuk menutup kekurangan atau pengeluaran saat Pemilu lalu," jelasnya.
Berdasarkan informasi yang tersiar, Said mengaku, harga satu kursi di kabupaten/kota saja bisa mencapai Rp 300 juta sampai Rp 500 juta, apalagi di tingkat Provinsi mungkin lebih dari itu.
"Jadi untuk mencapai 20 persen syarat itu kan tinggal dikalikan saja, misalnya Rp 500 juta kali sembilan kursi sudah lebih dari Rp 4 miliar," rincinya.
Oleh karena itu, memang fenomena ini sangat beresiko karena ketika para calon misalnya tidak punya uang, mereka akan berusaha untuk mendapatkan suplai dari donator.
"Jadi para donatur juga berharap ketika nantinya figur yang didanai menang, maka mereka akan mendapatkan kompensasi berupa proyek atau lain-lain," paparnya.
Apalagi, tambahnya, dengan postur APBD di wilayah Maluku sangat kecil, itu artinya, kalau para calon yang menang mau bayar hutang, maka caranya yakni dengan kompensasi proyek-proyek kepada para cukong.
"Jadi kalau politisi berkolusi dengan pemilik modal, maka rakyat akan mendapatkan ampas atau sisa-sisa saja. Dan itu sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintahan ketika mereka terpilih," ungkapnya.
Dan sampai hari ini, Said menjelaskan, proses mendapatkan rekomendasi itu masih sulit, karena para bandar masih akan melihat sejauh mana calon yang didanai punya peluang menang atau tidak.
"Jadi mereka sekarang masih menunggu dan melihat sampai detik terakhir jelang pendaftaran di KPU. Jadi siapapun yang hasil survei tinggi, kualitas kepemimpinan manajerial pengalaman bagus tapi tidak ditunjang dengan logistik yang kuat itu juga akan menghalangi," tutupnya.(Nal)
Dapatkan sekarang