AMBON, AT.—Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) masih dianggap sebagai solusi fundamental bagi peningkatan kesejahteraan dan penurunan kemiskinan. Namun, pendekatan pembangunan yang dilaksanakan harus berbasis kultural dan sesuai karakteristik kewilayahan.
Hal ini mengemuka dalam dialog akademik bertema ‘Prospek dan Manfaat Daerah Otonomi Baru (DOB) di Indonesia’ yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Dosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pattimura, Selasa (12/7). Kegiatan ini dibuka oleh Dekan FISIP, Wahab Tuanaya.
Dalam sambutannya, Tuanaya mengatakan, salah satu tujuan dialog akademik ini adalah menyamakan persepsi mengenai upaya pemerintah memekarkan sejumlah daerah di Indonesia, terutama di Papua dan Maluku, yang saat ini menjadi isu strategis. Dikatakan, kedaulatan yang diberikan kepada negara diselenggarakann dengan asas desentralisasi dan dekonsentrasi.
Asas desentralisasi, lanjut doktor di bidang administrasi, itu, melahirkan otonomi daerah karena pemerintah pusat tidak bisa menjangkau sampai ke daerah-daerah. “Otonomi harus diberikan kepada daerah sehingga daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri,”ujarnya.
Pasca-reformasi, pemerintah melakukan pemekaran wilayah secara masif. Misalnya, Provinsi Maluku Utara yang dimekarkan dari Provinsi Maluku demi memperlancar pelayanan publik dan percepatan kesejahteraan kepada masyarakat.
Sebab, apabila rentang kendali sebuah daerah sangat jauh dan sulit, kata Tuanaya, akan menyebabkan pelambatan pembangunan di daerah tersebut. Ia mencontohkan, masyarakat Desa Liliboy, Kecamatan Leihitu yang mengurus keperluan administrasi kependukan dan lainnya harus ke Masohi, ibukota Kabupaten Maluku Tengah meski desa itu lebih dekat dengan pusat pemerintahan Kota Ambon.
“Jadi kalau pemekaran wilayah tidak dilakukan, akses ke pelayanan publik seperti ini dan percepatan pembangunan tidak akan tercapai. Begitu pula dengan wilayah lain yang dimekarkan menjadi kabupaten, harus meminta izin dari gubernur atau pemerintah provinsi. Jadi, ada unsur kebaikan dari sebuah pemekaran,”paparnya.
Olehya itu, ia berharap, dialog ini menjadi momentum penyamaan persepsi agar upaya pemekaran DOB baru tidak selalu menjadi pertentangan yang cenderung mengarah pada penolakan. “Semoga dapat menyamakan persepsi kita terkait langkah-langkah pemerintah untuk memekarkan daerah, yang menjadi isu strategis saat ini,”pungkasnya.
Solusi, Tapi Salah Urus
Sementara itu, narasumber dialog, Amir F. Kotarumalos mengatakan, tujuan pemekaran wilayah adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memperpendek rentang kendali, mempercepat pelayanan publik, membuka lapangan kerja dan lapangan usaha baru, dan mendorong pembentukan instansi-instansi vertikal baru. “Itu kondisi ideal yang menjadi angan-angan masyarakat,”kata dia.
Tapi, das sein dan das sollen, kerap tidak menjadi kenyataan. Hal ini sangat dipengaruhi oleh logika pikir para elit yang terlibat dalam pemekaran.
Bila memakai pendekatan tradisi pikir positivisme, kata Amir, maka pemekaran yang diperjuangkan semata-mata sebagai ikhtiar agar pemerintah pusat dan pemerintah daerah bersinergi.
Kemudian, pendekatan konstruktivisme menekankan pada tugas dan fungsi kepala daerah, gubernur misalnya, menjadi perpanjangan tangan atau katalis untuk pemerintah pusat dan daerah.
Menurut Amir, beberapa daerah pemekaran yang telah maju, karena elit dan masyarakat bersatu dan memiliki pandangan postif untuk membangun daerahnya tanpa embel-embel lain. Tapi, ada daerah yang kemudian tidak maju, itu disebabkan elitnya berpandangan bahwa dengan pemekaran ada lahan baru, arena politik dan aktor politik baru.
“Kalangan birokrat menumpukan harta kekayaan untuk diri pribadi dan kelompok. Kalau logika pikirnya sudah seperti ini, maka daerah itu cendrung tidak maju. Ini yang dikwathirkan dari isu pemekaran,”paparnya.
Menurut Paulus Koritelu, narasumber kedua dalam dialog ini, secara objektif pemekaran daerah telah membawa banyak manfaat bagi masyarakat Maluku. Dulu, Provinsi Maluku hanya memiliki empat kabupaten/kota, yaitu Kota Madya Ambon, Kabupaten Maluku Tengah, Kabupaten Maluku Tenggara, dan Kabupaten Maluku Utara.
Kini, setelah dilakukan pemekaran, sudah ada 9 kabupaten dan 2 kota di provinsi kepulauan ini. Maluku Tengah yang dulunya hanya satu kabupaten, sekarang sudah terpecah menjadi lima yakni kabupaten induk Maluku Tengah, dan empat DOB baru masing-masing Kabupaten Seram Bagian Timur, Seram Bagian Barat, Buru, dan Buru Selatan.
Sedangkan Kabupaten Maluku Utara, sudah dimekarkan menjadi provinsi, terlepas dari provinsi Maluku. Saat ini, Maluku Utara telah memiliki 8 kabupaten dan 2 kota, 115 kecamatan, 117 kelurahan dan 1.063 desa dengan jumlah penduduk tahun 2021 sebanyak 1.316.973 jiwa.
“Secara fundamental dan filosofis, pemekaran itu adalah solusi. Secara objektif diakui bahwa sejarah pemekaran di Maluku sudah banyak membawa manfaat bagi masyarakat Maluku berdasarkan data objektif yang ada,”ungkap sosiolog yang akrab disapa Poli, itu.
Tetapi, berdasarkan data empirik dan objektif, Maluku masih berada pada urutan empat provinsi termiskin di Indonesia. Menurut Poli, itu bukan merupakan dampak buruk dari pemekaran.
“Tapi fakta-fakta salah urus serta banyak regulasi yang belum sepenuhnya berpihak dan dirasakan oleh orang Maluku. Selain itu, kriteria dan indikator kemiskinan yang menjadi patokan penetapan, masih bisa diperdebatkan dan sesungguhnya bertolak belakang dengan indeks kebahagiaan masyarakat Maluku,”paparnya.
Dia menduga, hal ini disebabkan pendekatan pembangunan pada setiap daerah otonom masih keliru yang justru menimbulkan kegelisahan akut, alih-alih sebuah solusi. Konsep pembangunan yang tidak sepenuhnya berbasis kultural dalam kasus Papua dan Maluku, tanah tidak dijadikan sebagai aset tapi komoditi jangka pendek, kebijakan pembangunan pertanian yang tidak selalu sesuai karakter pertanian lokal, dan penentuan Dana Alokasi Khusus dan Alokasi Umum (DAK dan DAU) yang bias karateristik kewilayahan.
Olehnya itu, perlu perlakuan darurat (emergency treatment) berupa penetapan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN) dan DAU serta DAK yang proporsional berbasis wilayah, dan berbagai kebijakan lainnya. Misalnya, jika gaji ASN di wilayah kontinental (daratan) Rp3.000.000, maka gaji ASN untuk wilayah kepulauan seperti Maluku, harus empat kali besar dari itu.
“Kalau distribusi keadilan sosial dirasa belum merata, maka jangan tuntut adanya pengakuan (UU) provinsi keplauan. Sebab, tuntutan itu tidak akan terpenuhi. Tapi, kalau emergency treatment, saya rasa pemeritah pusat akan menyanggupi itu dengan rasionalisasi pertimbangan yang masuk akal, logis, rasional, dan secara akademis dapat dipertanggungjawabkan,”tandas Sekretaris Forum Komunikasi Pemekaran Daerah Provinsi Maluku, itu.
Diketahui, dialog akademik ini diikuti ratusan mahasiswa dari Unpatti, Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Ambon, Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM), Politeknik Negeri Ambon, dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, dan sejumlah dosen FISIP Unpatti. (tab)
Dapatkan sekarang