AMBON, AT--Berita bohong atau hoaks menyebar tanpa batas di media sosial dan lebih banyak berdampak buruk. Olehnya itu, masyarakat harus kritis terhadap informasi yang masih diragukan kebenarannya.
Hal ini disampaikan Koordinator Wilayah Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) Maluku Rusda Leikawa dan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ambon, Tajudin Buano sebagai narasumber Talk Show bertajuk 'Say No to Hoaks' di Podcast Ameks Selasa (8/11). Radio Ameks merupakan penerima fellowship program Cek Fakta Radio yang diadakan AJI Indonesia atas dukungan Google News Initiative 2022.
Rusda mengatakan, hoaks yang tersebar di Maluku dalam beberapa tahun terakhir berasal dari pusat dan lokal. MAFINDO Maluku mencatat 13 hoaks di Maluku selama Januari hingga Oktober 2022 dengan tema kesehatan 20 persen, penipuan 20 persen, lainnya 30 persen, SARA/etnis 10 persen, kriminal 10 persen, dan politik 10 persen.
Empat diantaranya, kata Rusda, merupakan hoaks lokal atau dibuat dan disebarkan serta terkait dengan konteks Maluku. Salah satu hoaks yang beredar di Maluku adalah video putri duyung di Latuhalat, Ambon pada 15 Juli lalu.
Padahal, berdasarkan penelusuruan MAFINDO Maluku, video yang diduga manusia setengah ikan itu ditangkap di Muizenberg Afrika Selatan, bukan di Latuhalat.
"Video itu juga ternya editan, bukan asli,"kata Rusda menjawab pertanyaan Zen Anwar, host bincang santai tersebut.
Menurut Rusda, ada sejumlah motif orang membuat dan menyebarkan hoaks lewat media sosial seperti facebook, twitter, instagram, youtube, maupun WhatsApp serta platform. Antara lain karena ingin menjadi paling update, memprovokasi, terlalu cemas, bergantung dengan gawai (telepon genggam), iseng serta untuk keuntungan politik dan ekonomi.
"Sedangkan literasi yang rendah dan tidak berpikir kritis, kurangnya rasa percaya masyarakat dan pemerintah, polarisasi masyarakat, fanatisme buta, dan belum cakap memilih informasi merupakan penyebab mengapa orang masih percaya pada hoaks,”jelas Ketua Wanita Penulis Indonesia (WPI) Wilayah Maluku, itu.
Rusda menambahkan, pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, lanjut Rusda, membuat semua orang berkesempatan menjadi pembuat, penyebar, dan pengguna informasi. Termasuk memproduksi hoaks.
Sedangkan masyarakat yang terpapar hoaks, mulai dari anak-anak usia sekolah hingga lanjut usia. Bahkan orang dengan tingkat pengetahuan tinggi juga sering terhasut berita bohong lewat audio, video, narasi, maupun infografis.
"Jadi tingkat pendidikan tidak berpengaruh atau berkorelasi dengan banyak atau sedikitnya penyebaran hoaks. Sebut saja, salah satu doktor yang ternyata membagikan hoaks juga di grup WA. Mungkin karena kepetingan politik atau lainnya,"jelasnya.
Olehnya edukasi terkait hoaks kepada masyarakat, kata dia, harus dilakukan. Sejak 2016 hingga sekarang, MAFINDO Maluku terus mengedukasi masyarakat lewat pelatihan, talkshow, video pendek, maupun tulisan di media sosial dan media massa.
Bahkan dalam setahun terakhir, MAFINDO telah mengimplementasikan kurikulum Tular Nalar. Adapun kegiatan yang telah dan akan dilaksanakan dalam tahun ini hingga 2023 adalah literasi digital bagi warga lanjut usia (Lansia) dan sekolah kebangsaan untuk orang pemuda yang masuk kategori pemilih pemula pada Pemilu 2024 dengan melibatkan unsur pemerintah, seniman, jurnalis dan perempuan serta pemuda sebagai peserta.
"Kenapa lansia, mereka cepat terpapar hoaks. Sedangkan kenapa anak muda, karena mereka lebih banyak menggunakan sosial media,"paparnya.
Selama kegiatan-kegiatan, para peserta dibekali pengetahuan yang cukup untuk terhindar dari hoaks. Cara sederhana untuk mengecek kebenaran informasi atau fakta dengan menggunakan mesin pencarian Google, Yahoo, atau Bing.
Selain itu, bisa lewat aplikasi seperti Hoax Buster Tools (HBT), Kalimasada dan Turnbackhoax.id yang dibuat oleh MAFINDO, atau cekfakta.com yang dibuat MAFINDO bersama 22 media online di Indonesia.
Namun, Rusda mengakui, tantangan selalu dihadapi ketika mengedukasi. Salah satunya, bila hoaks tersebar dari mulut ke mulut di daerah yang belum terjangkau internet.
"Kalau informasi hoaks ini tersebar di media sosial, ada jejak digitalnya. Tapi kalau dari mulut ke mulut, agak susah," tutur Roesda.
Rusda mengajak sekaligus mengimbau masyarakat agar kritis terhadap informasi yang diperoleh, terutama dari media sosial. Bila masih meragukan kebenarannya, maka perlu memverifikasi dengan cara mengecek informasi yang sama di mesin pencarian dan di kanal cek fakta maupun alat yang telah disediakan MAFINDO dan lembaga atau komunitas lainnya yang kredibel.
"Intinya, saring (verifikasi) sebelum sharing atau membagikan kepada orang lain,"pungkas wanita yang telah menulis sejumlah buku antologi puisi, itu.
Sementara itu, menurut Tajudin, hoaks beredar paling banyak di media sosial. Ini merupakan dampak pesatnya teknologi informasi, dimana setiap orang bisa membuat, menerima, menggunakan dan menyebarkan informasi tanpa batas.
Kondisi ini berbeda dengan belasan tahun lalu atau ketika sumber informasi hanya diperoleh dari media massa. "Nah, karena setiap orang adalah pembuat, pengguna dan penyebar informasi, sehingga tidak lagi memikirkan apakah informasi itu benar atau salah,"jelasnya.
Selain media sosial, munculnya media siber abal-abal, kata dia, juga memperparah kondisi kekacauan informasi. Tak sedikit media massa online membuat berita bohong karena hanya mengutip informasi dari media sosial tanpa memverifikasi terlebih dahulu.
Karena itu, AJI sebagai organisasi juga fokus pada profesionalisme, terus berupaya meningkatkan pemahaman jurnalis tentang literasi digital. Sejak 2018 hingga sekarang, AJI telah melakukan pelatihan menangkal hoaks dan cek fakta bagi jurnalis media massa cetak, elektronik dan siber di seluruh Indonesia.
Kegiatan terakhir yang dilaksanakan adalah peatihan cek fakta untuk radio di beberapa daerah, termasuk Kota Ambon. Pelatihan ini diikuti 15 peserta dari Radio Ameks, DMS, RRI Ambon dan Dian Mandiri Radio (DMR) yang berlangsung selama dua hari di Amaris Hotel.
"Kali ini radio dipilih karena radio masih dipercaya sebagai media penyedia dan penyebar informasi terpercaya selain media massa lainnya. Apalagi di daeerah kepulauan yang belum terjamah internet, orang bisa memperoleh informasi dari siaran radio. Jadi jangan sepelehkan radio,"tegasnya.
Namun, Tajudin menekankan pentingnya disiplin verifikasi bagi jurnalis dalam mencari, mengolah, dan menyebarkan berita. Jika verifikasi konsisten dilakukan, peluang misinformasi sangat sangat sedikit bahkan tidak ada.
"Verifikasi itu ibarat jantungnya berita. Jika tidak ada atau tidak dilakukan, sebuah informasi itu tidak akan bertahan atau tidak dipercaya. Sehingga seorang wartawan atau jurnalis dituntut untuk memverifikasi informasi sebelum memberitakan,"pungkas jurnalis Ambon Ekspres itu. (lms)
Dapatkan sekarang