MASOHI, AT. – Tim Kuasa Hukum Negeri Adat Sawai resmi melaporkan dugaan pengrusakan dan penebangan liar tanaman milik warga Negeri Sawai dan Olong ke Polres Maluku Tengah, Senin (7/7).
Laporan ini terkait konflik sosial antara Negeri Sawai dan Desa Masihulan yang mencuat sejak April lalu.
Pengaduan resmi itu disampaikan oleh dua kuasa hukum Negeri Adat Sawai, Abdul Safri Tuakia dan Hamka Karepesina, pasca lakukan pelaporan pada pukul 12.00 WIT di Mapolres Malteng.
Dalam laporan tersebut, tim hukum mencatat bahwa sebanyak 10.785 pohon milik 67 warga di wilayah Sawai dan Olong telah dirusak dan ditebang secara brutal. Kerusakan tanaman ini tersebar di lima lokasi, yakni Dusun Salawai, Hunsei, Mapin, Sulung, serta kawasan antara Kilometer 7 hingga 9.
Jenis tanaman yang dirusak mencakup, cengkih 4.056 pohon, pala 4.351 pohon durian 220 pohon, pisang 640 pohon, balsa 950 pohon, dan berbagai tanaman lainnya seperti cokelat, salak, langsat, alpukat, hingga gaharu.
Kuasa hukum menduga, tindakan pengrusakan dilakukan oleh warga dari Desa Masihulan sebagai buntut dari konflik sosial sebelumnya.
Pasalnya, tindakan ini dianggap sebagai main hakim sendiri dan telah menimbulkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi masyarakat korban.
“Ini adalah tindakan brutal dan bentuk kejahatan nyata. Tidak hanya merusak hak milik warga, tapi juga berpotensi menciptakan konflik baru,” tegas Tuakia.
Menurut kronologi yang disampaikan, pengecekan pertama atas kerusakan dilakukan pada 13 Juni 2025, dan dilanjutkan dengan penelusuran bersama warga dan aparat kepolisian pada 19 dan 22 Juni. Semua pengecekan membenarkan telah terjadi perusakan massif pada tanaman masyarakat.
Tuakia berharap agar Kapolres Maluku Tengah segera menindaklanjuti laporan hingga penetapan tersangka, serta mempertimbangkan mekanisme ganti rugi kepada para korban.
Dikatakan Tuakia tindakan yang dilakukan pelaku dinilai telah melanggar pasal 406 jo Pasal 55 KUHP tentang perusakan barang milik orang lain. Pasal 50 ayat (3) huruf e UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, serta UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).
Ancaman hukumannya bisa mencapai 15 tahun penjara dan denda hingga Rp 1 miliar.
Sementara itu, Hamka Karepesina juga memperingatkan bahwa jika penegakan hukum tidak segera dilakukan, potensi konflik susulan antara Sawai dan Masihulan akan semakin terbuka. Hal ini dapat menjadi preseden buruk bagi stabilitas keamanan dan ketertiban di Maluku, bahkan nasional.
“Kami harap aparat bertindak tegas. Jangan sampai ketidakadilan hukum ini memicu aksi balasan dan merusak perdamaian di Seram Utara dan Bumi Pamahanunusa," tutup Tuakia. (Jen).
Dapatkan sekarang