Oleh : Dr. Erly Leiwakabessy, M.Si
(Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pattimura)
Menyimak wawancara di sebuah chanel youtube tentang evaluasi 3 tahun kepemimpinan Gubernur dan Wakil Maluku (Murad-Orno) yang masih terus beredar di media sosial hingga saat ini, membuat nurani akademik saya terusik. Sebab wawancara oleh seorang akademisi, Julius R. Latumeirissa, yang juga salah satu alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pattimura, tersebut secara akademik sangat tidak mendidik dan
cenderung menyesatkan.
Apalagi dibumbui dengan ujaran-ujaran sarkasme yang tidak etis dan bersifat destruktif, dimana hal tersebut telah memicu polemik dan interpretasi yang berkembang liar di masyarakat sampai dengan hari ini. Oleh karena itu saya merasa perlu untuk melakukan klarifikasi secara akademik guna memberi pemahaman yang baik dan
berimbang, agar masyarakat bisa tercerahkan dan mampu menerjemahkan isu tersebut dengan lebih objektif dan proporsional.
Yang pertama, terkait evaluasi kinerja makroekonomi yang menyimpulkan bahwa
dalam 3 tahun terakhir Maluku tidak mengalami kemajuan sedikitpun, bahkan ada tendensi kemunduran. Menurut saya kesimpulan tersebut tidak proporsional, serta tidak berbasis data yang benar.
Kita tahu bahwa 3 tahun terakhir ini bukanlah tahun-tahun yang mudah
bagi Maluku, mulai dari musibah gempa pada paruh terakhir 2019 hingga bencana Covid yang melanda dunia tak terkecuali Maluku di sepanjang tahun 2020-2021 dan masih belum berakhir hingga hari ini. Kejadian-kejadian yang bersifat force majeur tersebut tentu saja menghasilkan shock (guncangan eksogen) yang berdampak luas bagi perekonomian.
Oleh karena itu dalam mengevaluasinya perlu mengedepankan cara pandang yang proporsional sehingga hasilnya menjadi lebih jujur dan objektif. Padahal setelah saya mengkaji perkembangan data-data statistik yang ada, ternyata harus diakui bahwa terdapat perbaikan yang cukup berarti pada hampir semua indikator
makroekonomi Maluku.
Sebut saja pertumbuhan ekonomi yang walaupun sempat terkontraksi sebesar -0,92% akibat Covid-19, kembali meningkat menjadi 3,04% di tahun 2021. Demikian pula tingkat kemiskinan yang turun 1,69 poin dari posisi September 2020, termasuk angka kedalaman kemiskinan (P1) dan keparahan kemiskinan (P2) yang juga menurun secara proporsional di tahun 2021 menjadi masing-masing sebesar 3,49% dan
1,06%.
Tingkat pengangguran juga tarcartat menurun dari 7,57% pada Agustus 2020
menjadi 6,93% di Agustus 2021. Perbaikan juga ditunjukkan oleh angka ketimpangan (gini rasio) yang menurun dari 0,326 pada tahun 2020 menjadi 0,316 pada tahun 2021.
Selanjutnya angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) hingga Nilai Tukar Petani (NTP) semuanya menunjukkan tren kinerja yang semakin membaik pada seluruh dimensi pembangunan manusia dan hampir semua sub-sektor pertanian.
Capaian-capaian tersebut bagaimanapun merupakan prestasi menggembirakan di tengah sejumlah keterbatasan dan
tantangan pembangunan Maluku yang memang tidak mudah. Yang kedua, saya juga perlu meluruskan pernyataan tentang pertumbuhan ekonomi Maluku, yang katanya bukan karena peningkatan produksi namun semata-mata merupakan
faktor perubahan harga/ inflasi.
Menurut saya pernyataan ini sangat keliru dan bias akademik. Siapapun yang mengerti ilmu ekonomi mestinya tahu bahwa yang namanya pertumbuhan ekonomi itu jelas telah menghilangkan pengaruh inflasi, karena dihitung menggunakan PDRB harga Konstan, bukan PDRB Harga Berlaku. Oleh karena itu pertumbuhan ekonomi Maluku telah mencerminkan adanya peningkatan produksi masyarakat, bukan karena faktor kenaikan harga sebagaimana yang dikatakan.
Hal lainnya yang perlu diklarifkasi dari sisi akademik adalah terkait metodologi. Dikatakan bahwa hasil publikasi Maret tidak bisa dibandingkan dengan publikasi September karena keduanya memiliki ukuran sampel yang berbeda. Ini juga pemahaman keliru, karena bagaimanapun penentuan ukuran sampel oleh BPS telah melalui metodologi yang sahih, sehingga dipastikan telah memenuhi kaidah dan prosedur ilmiah dan mampu merepresentasikan populasi yang ada.
Kita tahu bahwa survei Maret itu untuk publikasi kabupaten/ kota, sehingga tentu saja secara total ukuran sampelnya lebih besar dari September yang jangkauan sampelnya Provinsi. Yang jelas keduanya sama-sama valid sehingga dapat digunakan, dan dalam tataran tertentu bisa dibandingkan untuk mengukur progres, karena provinsi merupakan penjumlahan dari kabupaten/kota.
Singkatnya, semua data BPS tersebut telah shahih, baik untuk sampel besar maupun sampel kecil, dimana implikasi dan penggunaannya masing-masing juga sudah inline sesuai konteksnya. Hal ini penting diluruskan karena pernyataan tersebut seakan-akan meragukan akurasi dari metodologi survei yang dilakukan BPS sebagai institusi resmi yang dipercaya
negara untuk mempublikasikan data-data statistik.
Yang terakhir, dan ini yang paling penting. Perlu saya tegaskan di sini bahwa sebagai salah satu pilar social control, akademisi memang dituntut harus selalu tanggap dan kritis mengawal jalannya pemerintahan agar terhindar dari praktik-praktik penyimpangan
dan penyalahgunaan kekuasaan.
Namun apapun materinya hendaknya harus didasarkan pada fakta, data, dan kaidah yang terverifikasi secara ilmiah. Seorang akademisi harus jujur, bebas nilai, dan mengedepankan logika-logika akademik yang benar. Dengan begitu hasil kajiannya bisa lebih objektif, mencerahkan, serta menjadi kontribusi fikir yang bermanfaat bagi kemajuan bangsa, daerah dan masyarakat.
Dapatkan sekarang