AMBON, AT-Dosen senior di fakultas Hukum Universitas Pattimura (Unpatti), Jantje Tjiptabudy akhirnya dikukuhkan sebagai guru besar bidang ilmu hukum. Dalam pidato pengukuhannya, Tjiptabudy menyerukan pentingnya perlakuan khusus negara bagi daerah kepulauan seperti Maluku.
Prof. Dr. Jantje Tjiptabudy, SH. M.Hum, dikukuhkan bersama empat guru besar lainnya melalui Rapat Terbuka Luar Biasa Senat Universitas Pattimura, Senin (17/7)). Jantje mengangkat tema pidatonya yaitu "Penerapan asas desentralisasi asimetris dalam mewujudkan otonomi daerah yang berkeadilan".
Mantan dekan fakultas hukum Unpatti, itu mengungkapkan, Indonesia adalah negara kepulauan (archipelago state) yang dalam pengakuan yuridisnya dalam dunia intenasional diawal dengan Deklarasi Juanda tahun 1957 yang kemudian diterima di Konferensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada The United Nations Convention on The Law of The See (UNCLOS) 1982, dicantumkan pagian ke IV mengenai
negara kepulauan.
Dengan demikian, kata dia, konsepsi Ini menyatukan Indonesia, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 25 A UUD NRI Tahun 1945, yang menyatakan "Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara Kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan Undang-Undang".
Indonesia, lanjut dia, merupakan negara kepulauan yang memiliki luas laut 5,8 juta kilometer, yang terdiri dari laut teritorial dengan luas 0,8 kmi, laut nusantara 2,3 juta kilometer persegi dan zona ekonomi eklusif 2,7 kilometer persegi, dengan garis pantai sepanjang 81.000 kilometer dan memiliki pulau sebanyak 17.504 pulau.
"Namun pemerintah Indonesia selama ini tidak begitu peduli melakukan pembangunan yang berorientasi ke laut, tetapi masih terfokus pada paradigma pembangunan di darat," katanya.
Sebagai suatu negara kesatuan, papar Jantje, Indonesia menganut asas desentralisasi yang dimplementasikan dalam bentuk otonomi daerah.
Dalam hal ini pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasakan hak otonomi sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945.
Berdasarkan pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, yang kemudian dijabarkan dalam UU Nomoe 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, merumuskan desentralisasi sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem negara kesatuan.
Dijelaskan, dalam pedelegasian kewenangan berdasarkan asas desentralisasi ditinjau dari implementasi praktis di daerah dapat disederhanakan menjadi tiga kelompok besar, yaitu pendelegasian kewenangan politik, pendelegasian kewenangan urusan daerah, dan pendelegasian kewenangan pengeloloaan keuangan.
"Penjabaran lebih lanjut dari ketiga kewenangan tersebut di dalam UU No. 23/2014, tidaklah secara eksplisit memberikan wewenang secara penuh pada daerah yang berkarakteristik akuatik teristerial untuk mendapat perlakuan yang berbeda sesuai dengan karakter wilayahnya," jelasnya.
Dia menuturkan, perlakuan yang berbeda secara filsofis mendapat jastifikasi dari moto yang tertera di kaki burung garuda, "Bhineka Tunggal Ika”, yang artinya berbeda-beda tetapi satu. Hal ini berarti bahwa Pancasila mengakui adanya perbedaan dalam berbagai aspek.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah,
maka haruslah diterapkan apa yang disebut dengan desentralisasi asimetris. Namun, menurut mantan dekan tiga fakultas, yakni fakultas hukum, fakultas ekonomi dan FISIP Unpatti ini, ketidakmauan pemerintah selama ini dalam menerapkan model desentralisasi asimetris, sangat dikhawatirkan akan membawa berbagai konsekuensi yang merugikan masa depan rakyat di daerah dalam menjelmakan kesejahteraan terkait dengan keragaman potensi daerah, social budaya, etnis, geogarfis dan sosial politik.
Dilain pihak, tidak dikembangkannya desentralisasi asismetris dapat menodai dan mengancam spirit yang dikandung dalam Pancasila yang antara lain mengedepankan keutamaan keadilan dan menghargai keragaman. Misalnya, Maluku yang terdiri dari 1.340 pulau dengan luas 92,65 persen wilayah laut, mengalami kesulitan dalam pemenuhan kesejahteraan rakyat maupun pelayanan publik yang berkualitas.
Hal ini disebabkan kondisi geografis dengan pulau-pulau yang banyak membutuhkan pembiayaan yang jauh lebih besar untuk suatu kegiatan yang sama, yang dilakukan pada provinsi yang wilayah daratannya lebih luas. Akibatnya, muncul kesan kurang adilnya pemerataan pembangunan dan lambannya proses peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah yang berkarakteristik akuatik teristerial.
Prinsip Keadilan dari Aspek Filosofis Pancasila
Wakil rektor Unpatti ini menjelaskan, jika dikaji secara akademis, Bhineka Tunggal Ika dapat dipahami dalam konteks konsep generik multikulturalisme, setidaknya menunjukkan pada tiga hal. Pertama, sebagai bagian dari pragnatism movment pada akhir abad ke 19 di Eropa dan Amerika Serikat.
Kedua, sebagai political and cultural pluralism pada abad ke 20 yang merupakan bentuk respon terhadap imperialisme Eropa di Afrika, dan imigrasi besar-besaran orang Eropa ke Amerika Serikat dan Amerika Latin. J
Ketiga, sebagai official national policy yang dilakukan di Canada pada tahun 1971 dan Australia tahun 1973 dan berikutnya di beberapa Negara Eropa.
Akan tetapi, kata Jantje, prinsip Bhineka Tunggal Ika yang diartikan sebagai berbeda-beda tetapi satu, sering diarahkan hanya semata-mata pada perbedaan budaya, etnisitas dan karakter manusia semata-mata. Padahal, prinsip kebhinekaan harus juga dibaca sebagai perbedaan kondisi atau karakteristik wilayah pada masing-masing provinsi.
Hal Ini berarti adanya pengakuan prinsip kebhinekaan berbagai unsur yang terdapat di dalam wilayah tersebut baik Itu berkaitan dengan keragaman potensi maupun berkaitan dengan tingkat kesulitan maupun kemudahan dalam penyiapan sarana dan prasarana termasuk didalamnya pelayanan publik yang berkualitas.
"Kondisi daerah yang berkarakteristik akuatik teristerial dengan segala tingkat kesulitan dalam penyiapan sarana dan prasarana maupun layanan pubilk yang berkualitas, merupakan bagian dari kebhinekaan yang harus diakui keberadaannya dan perlu mendapat perlakuan secara adil," paparnya.
Artinya, kata Jantje, dengan tingkat kesulitan yang tinggi bagi daerah yang berkarateristik akuatik teristerial, maka pembiayaan terhadap program yang sama tentunya haruslah berbeda dengan wilayah atau provinsi yang cenderung berciri kontinental.
Misalnya, pembangunan Puskemas di provinsi di pulau Jawa, adalah tepat di daratan dalam bentuk bangunan, tetap Puskemas di daerah berkarakteristik akuatik teristerial adalah Puskesmas terapung atau lebih tepat disebut kapal cepat terapung yang dapat menyinggahi pulau-pulau yang ada disekitarnya.
"Tentunya pembiayaan lebih besar dari pembangunan Puskemas di darat. Oleh karena itu terhadap daerah dengan karakteristik akuatik teresterial perlu adanya perlakuan khusus dan ini sesuai dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika," tutup dia. (LMS)
Dapatkan sekarang