
Oleh: Hadia Wali (Pimpred Ameks)
Proses pentahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 secara serentak di seluruh Indonesia tengah berjalan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat dan daerah telah melaunching penyelenggaraan demokrasi tingkat daerah itu. Partai politik (parpol) yang diberi mandat untuk mengusung pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah juga telah berproses melakukan penjaringan.
Sebagaimana diberitakan, Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari saat peluncuran Pilkada, 30 Maret 2024 lalu, mengatakan, tujuan dari Pilkada serentak 2024 pada Nopember 2024 mendatang adalah dalam rangka membentuk pemerintahan yang efektif untuk bekerja melayani masyarakat.
Pilkada diselenggarakan dengan harapan menghasilkan sosok kepala daerah yang mampu menghadapi tantangan dan masalah daerah, serta memenuhi harapan publik. Juga berkontribusi bagi pertumbuhan pemerintahan lokal serta perkembangan politik lokal.
Mewujudkan tujuan dan harapan tersebut tentu tumpuan awalnya adalah penyelenggara dan pengawas Pemilu, selain tentu kepada para peserta dan seluruh elemen masyarakat di daerah ini. Karena itu, KPU sebagai penyelenggara dan Bawaslu berfungsi sebagai yang mengawasi dan menindak terhadap setiap pelanggaran sangat diharapkan komitmennya.
KPU (provinsi dan kabupaten/kota) tentu dalam menjalankan komitmen, tugas dan amanah itu harus tetap berpedoman pada prinsip demokrasi. Dimana lebih mengedepankan partisipasi masyarakat tanpa ada cawe-cawe kekuasaan.
Karena berangkat dari memori kolektif Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 14 Februari 2024 lalu, dimana penyelenggaraannya disebut-sebut sebagai Pemilu yang sarat kecurangan. Isu cawe-cawe kekuasaan telah melahirkan berbagai bentuk dugaan kecurangan, termasuk pelanggaran netralitas aparat negara dan daerah. Dikhawatirkan residu kecurangan itu kembali terulang di Pilkada mendatang.
Pemilu Legislatif lalu, di Maluku ada 12 gugatan kecurangan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh calon anggota legislatif dan partai politik, walaupun kemudian yang diteruskan MK hanya 6 gugatan. Tapi jumlah gugatan tersebut cukup menunjukkan bahwa praktek kecurangan itu memang ada.
Pilkada serentak di Maluku akan diikuti 11 kabupaten/kota ditambah pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Kekhawatiran residu Pemilu Legislatif lalu kembali terulang di Pilkada patut jadi perhatian kita semua. Karena sistem penyelenggaraan Pilkada juga tidak berbeda dengan sistem Pemilu Legislatif dan Pilpres. Orang-orangnya pun sebagai penyelenggara dominan hanya berganti posisi dan peran saja.
Belum lagi hadirnya wajah-wajah lama yang pernah memegang sistem kekuasaan di daerah saat Pemilu Legislatif lalu, kembali maju menjadi calon kepala daerah tentu akan melahirkan beragam interpretasi publik. Termasuk dugaan akan berpotensi melahirkan cawe-cawe kekuasaan baik dari daerah maupun pusat.
Cawe-cawe kekuasaan bisa saja terulang di Pilkada. Dugaan tersebut bukan tanpa alasan. Pemegang kekuasaan di pusat punya hubungan spesial dengan partai politik pendukung pasangan calon di daerah. Dan para elit partai dan kekuasaan di pusat sudah barang tentu sangat berkepentingan dengan para pelaksana pemerintahan di daerah sekarang. Kondisi tersebut yang dikhawatirkan akan memengaruhi netralitas aparat atau instrumen pemerintahan di daerah, termasuk penyelenggara Pilkada.
Kekhawatiran residu praktek kecurangan berpotensi kembali terbawah dalam Pilkada tentu harus jadi perhatian kita semua, termasuk media massa, salah satunya harian Ambon Ekspres dan group. Media massa harus dapat mengambil peran maksimal mengawal jalannya Pilkada di daerah ini.
Harian Ambon Ekspres sebagai salah satu media arus utama, yang hari ini Jumat, (12/7), telah berulang tahun ke-25 punya catatan tersendiri terkait pelaksanaan Pilkada di Maluku sebelum-sebelumnya. Dan pada Pilkada 2024 ini, Ambon Ekspres akan memberikan ruang signifikan dalam penyebaran informasi seputar pelaksanaan Pilkada. Harapannya ruang tersebut dapat dimanfaatkan publik melakukan pengawasan secara moral terkait pelaksanaan Pilkada di bumi raja raja ini.
Kontribusi media arus utama tentu diharapkan dalam mengawal pesta demokrasi lima tahunan itu. Hal ini sesuai dengan posisinya sebagai salah satu pilar penegakkan demokrasi di republik ini. Itu artinya, media massa harus mampu mengambil peran sentral mengawal Pilkada agar berjalan tanpa kecurangan. Posisi “netral” dan tidak menjadi alat black campaign haruslah menjadi sikapnya. Sehingga dari proses tersebut akan lahir pemimpin yang sesuai tujuan dari penyelenggaraan Pilkada itu sendiri.
Harapan akan lahirnya pemimpin yang bisa menjawab tantangan dan berbagai problematika di daerah haruslah menjadi komitmen bersama. Karena itu, pelaksanaan Pilkada kedepan tidak harus dipandang sebatas demokrasi prosedural tapi juga demokrasi subtansial. Dimana pemegang kedaulatan itu ada di tangan rakyat, dan bukan sebaliknya dengan alat kekuasaan dan oligarki harus mengangkangi suara rakyat. Prilaku demikian dikhawatirkan hanya akan melahirkan pemimpin yang mementingkan kekuasaannya dan bukan melayani masyarakatnya. (**)
Dapatkan sekarang