Pengajuan Kompensasi Korban Terorisme Diperpanjang hingga 2028: Harapan Baru bagi Korban di Maluku
Wakil Ketua LPSK, Susilaningtias dalam sambutannya pada kegiatan sosialisasi
penanganan korban terorisme masa lalu pascaputusan MK Nomor 103/PUU-XXI/2023, di Hote Zest Ambon, Jumat (17/10/2025).
Admin
18 Oct 2025 22:52 WIT

Pengajuan Kompensasi Korban Terorisme Diperpanjang hingga 2028: Harapan Baru bagi Korban di Maluku

AMBON, AT–Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperpanjang batas waktu pengajuan permohonan kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme masa lalu. Keputusan ini menjadi harapan baru, khususnya bagi korban di Maluku yang belum mendapatkan hak pemulihan dari negara.

Wakil Ketua LPSK, Susilaningtias, menjelaskan bahwa dasar hukum pemenuhan hak korban adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang menegaskan bahwa korban merupakan tanggung jawab negara. UU ini bersifat sangat progresif dan membuka terobosan hukum bagi korban terorisme masa lalu untuk mendapatkan kompensasi tanpa melalui jalur pengadilan. 

Awalnya, pasal 43L ayat (4) UU Nomor 5 Tahun 2018 membatasi pengajuan kompensasi hanya dalam waktu 3 tahun sejak UU diundangkan hingga 2021. Namun, banyak korban belum mendapatkan haknya karena kendala teknis, termasuk belum adanya Peraturan Pemerintah (PP) pelaksana teknis (PP 35 Tahun 2020 baru terbit tahun 2020) dan situasi pandemi COVID-19.

Menyikapi hal ini, pada Agustus 2023, Koalisi Masyarakat Sipil mengajukan judicial review atau uji materi. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi pada 29 Mei 2024, MK mengabulkan permohonan tersebut, menyatakan frasa batas waktu tersebut tidak mengikat, dan memperpanjang masa pengajuan menjadi 10 tahun terhitung sejak UU Nomor 5 Tahun 2018 mulai berlaku.

"Dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut, batas waktu pengajuan menjadi sampai 22 Juni 2028," ujar Susilaningtias dalam sambutannya pada kegiatan sosialisasi 
penanganan korban terorisme masa lalu pascaputusan MK Nomor 103/PUU-XXI/2023, di Hote Zest Ambon, Jumat (17/10/2025).

Saat ini LPSK bekerjasama dengan dokter forensik dan koneksinya juga sedang melakukan asesmen terakhir terhadap sepuluh kasus dari peristiwa bom Desa Halong Baru Ambon (2004), penyerangan Desa Wamkana, Pulau Buru (2004), bom pasar Mardika Ambon (2005), bom pangkalan ojek Lateri Ambon (2005), dan penyerangan karaoke Villa di Desa Hative Besar (2005) yang sudah mendapatkan surat penetapan korban dari BNPT  pascaputusan MK. 

Susilaningtias menambahkan, LPSK dengan BNPT bekerjasama dengan Pemerintah Daerah dan Kepolisian Daerah di Maluku untuk menyampaikan masa perpanjangan ini, sehingga para korban di Maluku yang belum mendapatkan pemulihan dari negara untuk dapat mengajukan surat penetapan  korban dari BNPT. Kemudian, dilanjutkan oleh LPSK dengan melakukan asesmen agar mendapatkan bantuan medis, psikologis, dan proses medis serta kompensasi,”tutupnya.

Sementara, Wakil Ketua LPSK lainnya, Mahyudin, menegaskan peran LPSK dalam pemulihan dan perlindungan hak korban yang meliputi bantuan medis, psikologis, dan psikososial, dengan fokus utama saat ini adalah pemberian kompensasi. LPSK telah menetapkan besaran kompensasi bagi korban, dengan rincian korban luka ringan Rp 75 juta, luka sedang Rp 115 juta, luka berat Rp 210 juta, orban meninggal dunia Rp 250 juta. 

Mahyudin menambahkan bahwa sejak tahun 2016 hingga 2024, LPSK telah membayarkan kompensasi senilai total Rp113 miliar kepada 785 korban di seluruh Indonesia. Khusus di wilayah Maluku, sebanyak 6 korban telah menerima kompensasi dengan total nilai Rp1,365 miliar.

Proses pengajuan kompensasi diawali dengan permohonan tertulis kepada LPSK,  penelaahan administrasi, pemeriksaan substantif. Jika permohonan ditolak, pemohon masih dapat mengajukan kembali hingga batas waktu 22 Juni 2028. “Jika diterima, hak-hak korban akan diberikan,”jelasnya.

LPSK menekankan pentingnya sosialisasi dan kerja sama dengan BNPT untuk memastikan semua korban mendapatkan hak mereka sebelum batas waktu yang ditentukan."Saat ini, kami tengah menyosialisasikan dan menghimpun semua data korban. Kami juga menyampaikan informasi kepada mereka bahwa negara memberikan kompensasi dan pemulihan. Kami berharap masyarakat turut membantu dalam menyebarluaskan informasi ini," jelasnya.

Pentingnya Peran Aktif Instansi Terkait dan Korban

Mayjen TNI Sudaryanto, Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), pada kesempatan itu menjelaskan korban tindak pidana terorisme didefinisikan sebagai seseorang yang menderita kerugian fisik, mental, dan/atau ekonomi akibat aksi terorisme.

Korban diklasifikasikan menjadi dua, yakni korban langsunga adalah mereka yang secara fisik mengalami dan merasakan tindak pidana terorisme, seperti korban meninggal atau luka akibat ledakan bom, dan korban tidak langsung merupakan mereka yang kehidupannya bergantung pada korban langsung, contohnya seorang istri yang kehilangan suami yang menjadi korban langsung.

Sudaryanto mengungkapkan, secara nasional, dari sekitar 1.400 korban yang terdata, baru sekitar 900 yang berhasil diverifikasi. Artinya, masih ada sekitar 500 korban yang perlu diurus hingga batas waktu 2028. 

Di Ambon, dari 50 korban yang teridentifikasi, sebanyak 16 korban telah mendapatkan surat penetapan dari BNPT sejak tahun 2022 hingga 2025. Sedangkan sembilan calon korban lainnya diidentifiaksi dan asesmen pada 17 Oktober 2025.

“Saat ini, LPSK bekerja sama dengan dokter forensik dan koalisi masyarakat sipil sedang melakukan asesmen terakhir terhadap 10 orang korban dari beberapa peristiwa terorisme dan konflik masa lalu di Maluku, seperti insiden tahun 2004 dan 2005,”jelasnya. 

Sudaryanto menjelaskan, meskipun batas waktu telah diperpanjang hingga 2028, BNPT masih menghadapi kesulitan dalam memverifikasi status korban. "Seringkali sulit membedakan antara korban tindak pidana terorisme dengan korban konflik sosial," kata Sudaryanto.

Tantangan lainnya meliputi faktor geografis yang mengakibatkan korban tersebar di berbagai wilayah, keterbatasan akses komunikasi dan informasi dari pemohon atau korban, dokumen pendukung tidak lengkap dalam permohonan, kebijakan pemusnahan rekam medis, dan masih ada korban tidak percaya dengan kehadiran negara.

Oleh karena itu, kata Sudaryanto, BNPT sangat mengandalkan kolaborasi dengan Pemerintah Daerah, Kepolisian Daerah, dan instansi terkait di Maluku untuk mencari dan mengidentifikasi korban. Jika klaim terverifikasi melalui penilaian tim BNPT, akan dikeluarkan Surat Penetapan Korban (SPK), yang menjadi syarat bagi korban untuk melanjutkan permohonan bantuan kepada LPSK.

 “Jadi, masih ada waktu kurang lebih tiga tahun. BNPT dan LPSK berharap perpanjangan batas waktu ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para korban di Maluku untuk segera mengajukan permohonan SPK kepada BNPT dan kemudian dilanjutkan ke LPSK untuk mendapatkan hak-hak pemulihan dari negara,”pungkasnya. (*)

Dapatkan sekarang

Ambon Terkini, Ringan dan cepat
0 Disukai