Mercy : Kemiskinan Ekstrem di Maluku Akar dari Ketimpangan Struktural 
Diskusi publik Semarak Budaya II yang digelar Komisi X DPR RI bersama Kementerian Kebudayaan di Hotel Manise, Ambon, Senin (28/7). Ist.
FaizalLestaluhu
28 Jul 2025 22:45 WIT

Mercy : Kemiskinan Ekstrem di Maluku Akar dari Ketimpangan Struktural 

AMBON,AT—Anggota Komisi X DPR RI, Mercy Chriesty Barends, mengungkapkan bahwa persoalan kemiskinan ekstrem yang masih membelenggu Provinsi Maluku tak lepas dari persoalan struktural, kultural, dan spiritual yang belum diselesaikan secara tuntas.

Hal itu disampaikan Mercy dalam diskusi publik Semarak Budaya II yang digelar Komisi X DPR RI bersama Kementerian Kebudayaan di salah satu hotel ternama di Kota Ambon, Senin (28/7). 

Tema diskusi kali ini mengangkat “Refleksi Kritis Peran Agama dan Budaya dalam Pembangunan Maluku”.

Diskusi yang dipandu Jafri Taihutu itu menghadirkan tiga narasumber utama yakni Mercy Barends, Pendeta Rudy Rahabeat (Wasekum Sinode GPM), dan Dr. Abdul Manaf Tubaka Wakil Direktur Pascasarjana Universitas Islam Negeri, Abdul Muthalib Sangaji (UIN AMSA) Ambon

Mercy menyebut, sedikitnya 50 peserta hadir dalam forum itu.  Mereka terdiri dari tokoh agama, budayawan, serta pimpinan paguyuban dan etnis dari berbagai daerah Buru, Buru Selatan, Kepulauan Aru, Ambon, Seram, Tanimbar, dan Lease.

Forum ini menjadi ruang bersama untuk membedah akar ketimpangan yang menyebabkan kemiskinan ekstrem. 

"Kita ingin tahu mengapa sistem lokal berbasis ajaran agama dan budaya adat tidak mampu mencegah konflik sosial maupun memperkuat pembangunan,” ujarnya.

Menurutnya, berbagai konflik antarwarga seperti sengketa batas tanah, perebutan sumber daya alam, hingga relasi antara masyarakat dan negara, sering kali bermuara pada ketimpangan struktural.

“Ada dominasi kekuasaan, ekonomi, dan politik yang sangat timpang. Sistem nilai kita yang sakral justru sering dijadikan simbol seremonial saja. Bahkan ada yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis,” sahut Mercy.

Ia menambahkan, nilai-nilai adat dan ajaran keagamaan harus direvitalisasi agar benar-benar bisa menjadi katalisator pembangunan yang inklusif dan adil.

“Kalau ada konflik, pasti di dalamnya ada masalah struktural, kultural, dan spiritual. Artinya, kita harus benahi secara menyeluruh dan tidak sepotong-sepotong,” sebut dia.

Srikandi PDIP itu,  juga menyoroti minimnya ruang dialog sosial antar kelompok masyarakat. Menurutnya, hal ini secara tidak sadar turut memperkuat kemiskinan.

“Semakin jarang terjadi perjumpaan sosial antarkomunitas, antaragama, antaretnis, maka makin lemah pula daya masyarakat membangun kekuatan kolektif,” katanya.

Ia menekankan pentingnya budaya berdialog secara sehat sebagai solusi bersama. “Kalau kita duduk dengan hati yang bersih dan pikiran yang jernih, semua persoalan bisa kita cari jalan keluarnya,” katanya 

Anggota DPR RI dapil Maluku tiga periode ini juga menyoroti pentingnya pembangunan berbasis keunggulan lokal. Mercy menegaskan bahwa Maluku tidak bisa disamakan secara kebijakan dengan daerah lain karena karakter wilayah dan potensi yang berbeda.

“Kalau semua diarahkan ke sektor yang sama seperti perikanan, maka pasar akan homogen dan ekonomi tidak dinamis. Kita harus kelola dari hulu ke hilir berbasis potensi lokal dengan perlindungan pranata adat,” tegasnya.

Sektor perikanan dan kelautan, lanjutnya, harus menjadi prioritas dan ditopang dengan sistem ekonomi lokal yang kuat.

“Modal sosial dan kultural kita adalah kekuatan. Tinggal bagaimana diramu jadi strategi pembangunan,” sahut mantan Anggota DPRD Maluku itu.

Menutup diskusi, Mercy menekankan pentingnya sinergi antara tokoh adat, tokoh agama, dan elemen masyarakat sipil. Ia menyebutnya sebagai “perjumpaan tiga tungku” yang menjadi fondasi kokoh pembangunan Maluku ke depan.

“Kita bisa keluar dari kemiskinan hanya kalau kita kerja bersama, saling menghormati, menjaga tatanan budaya kita. Kalau tatanan ini hancur, pembangunan juga tidak akan jalan. Itu rumus dasarnya,” tandasnya. (Wahab)

Dapatkan sekarang

Ambon Terkini, Ringan dan cepat
0 Disukai