Oleh: Tammat R. Talaohu, Wakil Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Maluku
Sebelum benar-benar memasuki tahapan pemilihan kepala daerah Provinsi Maluku 2024, ada baiknya kita meluangkan waktu sejenak untuk sekedar merenung sembari merefleksi perjalanan daerah ini selama lima tahun dipimpin Murad Ismail (MI). Meskipun masa kepemimpinannya telah berakhir, tetapi lima tahun bukanlah waktu yang sedikit untuk berkarya membangun negeri seribu pulau ini. Masing-masing kita akan mempunyai catatan yang berbeda terkait kiprah kepemimpinan MI sebagai kepala daerah. Ini menjadi penting, sebab kepemimpinan itu ibarat sebuah komunitas yang senantiasa dievaluasi, selalu dikaji untuk mengukur sejauh mana pengaruh elemen kepemimpinan tersebut terhadap kemajuan masyarakat. Sebab sudah banyak studi yang menyimpulkan bahwa kepemimpinan, dalam pengertiannya yang luas, sangat berpengaruh terhadap kecepatan dan maju tidaknya sebuah entitas. Sebagaimana diungkap oleh Foley (2002), bahwa saat ini terdapat satu entitas yang disebut sebagai “leadership market” (pasar kepemimpinan). Dalam perspektif pasar itu, pemimpin adalah satu komoditas yang secara kontinyu diselidiki, diuji dan dievaluasi kualitas kepemimpinannya.
Selain itu, sudah banyak kajian yang menyimpulkan bahwa efektifitas pemerintah dalam menggerakkan roda lperekonomian daerah akan menentukan seberapa cepat daerah dapat mengejar ketertinggalannya. Karena itu, tulisan ini tidak bermaksud menuding pihak manapun yang harus bertanggungjawab ketika Maluku hingga saat ini masih berkutat dalam berbagai keterbelakangan. Sebaliknya, evaluasi atas kepemimpinan daerah adalah sebuah proses yang alamiah, yang dengannya kita hendak menilai plus minus dari cara, metodologi, visi dan kebijakan yang selama ini diadopsi yang menentukan posisi Maluku dibanding dengan daerah- daerah lainnya, setidaknya di kawasan Indonesia timur. Selebihnya, artikel ini bermaksud menelaah kepemimpinan, sebagaimana yang diintrodusir pada bagian awal tulisan ini dengan memakai beberapa indikator subjektif sebagai alat ukur. Sejatinya, banyak indikator lain yang dapat disertakan, tetapi karena ruang dan tempat yang terbatas maka saya mengkhususkan artikel ini untuk hanya fokus pada beberapa aspek makro saja. Aspek ini juga umumnya dipakai oleh banyak kritikus sosial dalam menelaah kepemimpinan secara terbatas. Selain itu, meski saya bukan orang yang ikut memilih MI dalam pemilihan Gubernur Maluku tahun 2018 lalu, tetapi Tuhan YME telah memberinya karunia untuk menjadi Gubernur bagi 1,8 juta masyarakat Maluku. Harus diakui MI adalah pemimpin Maluku, yang dengan itu sebagai warga yang baik, evaluasi terhadap kepemimpinannya harus senantiasa dilakukan, bukan apa-apa, tetapi untuk memastikan bahwa 1,8 juta jiwa masyarakat Maluku yang tersebar dari ujung barat Pulau Buru hingga ujung timur di Kepulauan Aru didengar suaranya, juga untuk memastikan bahwa hak-hak dasar mereka terpenuhi adanya. Di samping itu, menyerahkan nasib mayoritas warga di provinsi seribu pulau ini untuk hanya diatur oleh satu orang saja terlalu berbahaya, sebab sudah menjadi pakem: “kekuasaan itu cenderung untuk korup”.
Mari kita simak beberapa data berikut ini. Pertama, tentang janji MI selama masa kampanye. Terkait hal ini ada baiknya kita merenungkan ucapan bapak pemersatu Jerman Otto von Bismarch (1815-1898) bahwa: “Orang tak pernah berbohong begitu banyak dibandingkan setelah berburu, selama perang atau sebelum pemilu.” Dalam masa kampanyenya yang gegap gempita, MI telah menjanjikan secara serius berbagai program unggulannya kepada publik, yang dengan itu pemilih di Maluku memutuskan untuk memilihnya. Setidaknya ada 13 program utama yang menjadi brand MI, yang karena ketersediaan ruang, saya hanya akan mengemukakan empat saja, antara lain: memindahkan ibukota Provinsi Maluku dari Ambon ke Pulau Seram dan percepatan pembangunan perkantoran Pemda Provinsi, biaya pendidikan gratis untuk SMU/SMK di Maluku, pengembangan provinsi kepulauan dan Maluku lumbung ikan l nasional, dan pembangunan smart city di pusat kabupaten/kota di Maluku. Dari ketigabelas program tersebut termasuk empat yang disebut di atas, tidak satupun yang direalisasikan. Utamanya tentang pemindahan ibukota provinsi ke Pulau Seram. Seharusnya ada penjelasan terkait hal ini. Jika memang hal tersebut dirasakan tidak bisa dilakukan maka seharusnya ada penjelasan terbuka ke publik. Demikian juga dengan provinsi kepulauan dan lumbung ikan nasional.
Publik tidak pernah menerima penjelasan langsung dari MI terkait program-program tersebut padahal hal itu akan berdampak langsung terhadap kemajuan Maluku dan nasib orang Maluku. Seperti ungkapan Sugeng Suryadi (2011), pendiri Majalah Tribun Jakarta, “Pemimpin itu dinilai dari perkataannya.” Sepertinya, terkait pemenuhan janji ini MI bukan ahlinya.
Kedua, tingkat kemiskinan sebagai indikator yang paling umum dirujuk. Bagaimanapun, sejak 2018 hingga 2023, angka kemiskinan Maluku memang menunjukan trend yang menurun. Tetapi angka ini hanya menunjukkan pergeseran yang sangat sempit. Dari 17,85 persen (2018) menjadi 16,42 persen (2023). Artinya ada koreksi sebesar 1,43 persen. Ini berarti, setiap tahun MI hanya bisa mengurangi kemiskinan di Maluku selama kepemimpinannya sebesar 0,35 persen. Dapat dikatakan bahwa ini adalah angka yang tidak bisa dikatakan sebagai keberhasilan mengingat potensi Maluku yang sebenarnya bisa untuk berbuat lebih. Bahkan ketika MI masih menjabat sebagai kepala daerah, memutuskan untuk mengambil langkah kontroversial dengan menembuh kebijakan hutang pada PT. SMI sebesar Rp. 700 miliar. Toh dampaknya terhadap percepatan pengurangan angka kemiskinan tidak seheboh masa-masa kampanyenya yang begitu banyak mengumbar janji akan pengentasan kemiskinan. Selain itu, angka kemiskinan Maluku masih jauh di atas rata-rata nasional yang berada pada kisaran 9,36 persen (2023). Karena itu, jika Maluku masih terjerat pada pusaran keempat kemiskinan nasional maka itu sangat wajar karena memang tidak ada terobosan program selama lima tahun terakhir ini untuk mengentaskannya. Demikian halnya dengan tingkat pengangguran yang juga masih di atas rata- rata nasional.
Ketiga, adalah tingginya ketergantungan pembiayaan APBD terhadap dana transfer dari APBN, berupa DAU dan DAK. Padahal di saat yang bersamaan, pendapatan asli daerah (PAD), meski terdapat kenaikan, tetapi tidak sebanding dengan kenaikan pembiayaan dari pusat (dana perimbangan). Ini mengakibatkan derajad kemandirian fiskal daerah tetap lemah dan perekonomian Maluku tetap belum mandiri. Perekonomian daerah yang tidak mandiri sangat beresiko dan rentan terhadap gejolak perekonomian nasional dan global sesedikit apapun gejolak itu. Secara praktis dapat diutarakan jika stabilitas di Timur Tengah dan Eropa timur masih berkepanjangan dan harga minyak dunia terus merangkak naik di atas harga kewajaran, maka hal ini akan memaksa pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM guna memastikan bahwa defisit APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) tidak membebani keuangan negara. Efek berantainya adalah masyarakat kecil tidak akan punya pilihan lain kecuali mengeluarkan uang yang lebih banyak lagi untuk membiayai kebutuhan sehari-harinya. Keroposnya perekonomian Maluku terletak di sini, dimana perekonomian kita tumbuh tapi bukan karena didorong oleh berkembangnya sektor riil dan investasi tetapi oleh konsumsi tadi. MI dapat dikatakan belum mampu membenahi kemandirian fiskal daerah ini.
Artikel pendek ini tidak bermaksud menyimpulkan bahwa kepemimpinan MI tidak berhasil atau sebaliknya. Bagaimanapun juga selama kepemimpinannya, MI telah berusaha keras untuk memajukan daerah ini. Tetapi indikator-indikator yang dikemukakan di sini, meskipun belum komprehensif, namun cukup untuk memberikan gambaran bahwa dibandingkan dengan lima hingga sepuluh tahun yang lalu, Maluku sebenarnya tidak beranjak jauh dari ketertinggalannya. Hal ini memunculkan pertanyaan berikutnya, apa saja yang telah disumbangkan MI kepada Maluku selama ini? Jawaban terhadap pertanyaan saya kembalikan kepada pembaca yang budiman. Bagaimana pendapat anda? (**)
Dapatkan sekarang