AMBON,AT.--Penurunan hasil tangkapan nelayan, kerusakan infrastruktur, dan kerusakan terumbu karang merupakan dampak nyata perubahan iklim di Negeri Asilulu, Negeri Lima, dan Negeri Ureng, Kecamatan Leihitu Barat, Maluku Tengah. Olehnya itu, perlu penguatan kapasitas masyarakat untuk meminimalisir dampak.
Kerusakan infrastruktur meliputi robohnya tembok penahan ombak, dan jalan aspal yang berlubang. Akibatnya, banyak titik genangan air di badan jalan.
Angin kencang disertai gelombang pasang tinggi juga menjadi persoalan lain yang banyak terjadi sejak 2010 hingga 2022. Ketinggian pasang air laut meningkat dua kali lipat.
Kondisi ini mengakibatkan terganggunya pasokan air bersih bagi nelayan di ketiga negeri/desa. Pada Negeri Assilulu, terganggunya pasokan air bersih memaksa mereka menggunakan air laut untuk keperluan mandi, cuci, kakus (MCK).
Persoalan ini menjadi perhatian serius KEMITRAAN–Partnership for Governance Reform dan Yayasan Harmony Alam Indonesia (HAI). Lewat dukungan pendanaan dari Adaptation Fund (AF), dua organsasi ini bertekad pemahaman dan aktivitas masyarakat di tga negeri tersebut lewat program “Memperkuat Kemampuan Adaptasi Komunitas Pesisir Dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim di Negeri Asilulu, Ureng dan Negeri Lima, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah” yang diluncurkan di di Hotel Amaris, Kota Ambon, Senin (29/8).
“Dampak perubahan iklim sudah dirasakan di berbagai wilayah Indonesia, salah satunya di Provinsi Maluku. Naiknya suhu secara global ini juga mempercepat naiknya air laut ke wilayah pemukiman, intensitas badai, dan gelombang tinggi yang membahayakan pelayaran. Peran KEMITRAAN adalah menjembatani program pemerintah dan implementasinya. KEMITRAAN juga merupakan satu-satunya lembaga yang menerima dana adaptasi di Indonesia,” ungkap Dewi Rizki, Direktur Program Strategi Tata Kelola Berkelanjutan (Sustainable Governance Strategic) KEMITRAAN.
Dewi juga berharap program AF di Maluku bisa menghasilkan kolaborasi dengan berbagai pihak sehingga berjalan maksimal. “Saya berharap diskusi ini bisa menjadi pemantik kolaborasi, agar dampak negatif dari perubahan iklim dapat dikurangi sehingga kelangsungan hidup masyarakat di sekitar pesisir sejahtera,” tambah Dewi.
Rian Hidayat, Direktur Yayasan HAI menjelaskan, perubahan musim panen ikan yang susah diprediksi mengakibatkan menurunnya hasil tangkapan ikan dan berpindahnya wilayah tangkapan ikan (fishing ground). Semua usaha perikanan sangat tergantung dengan ekosistem pesisir.
Cuaca yang tidak menentu, frekuensi siklon yang lebih intens telah menyebabkan terganggunya sistem operasional penangkapan. Beberapa nelayan di ketiga negeri ini mengeluhkan peningkatan biaya operasional bahan bakar, yang semula 30 liter meningkat menjadi 80 liter untuk sekali melaut.
Kondisi ini berdampak pada berkurangnya pasokan ikan, hilangnya pendapatan nelayan tradisional, dan industri perikanan pada ketiga negeri.
Rian berharap program AF dapat membantu masyarakat pesisir di lokasi program untuk meningkatkan ketahanan, mengurangi kerentanan (vulnerability) secara sosial, ekonomi dan ekologi dari ancaman dampak perubahan iklim.
“Terdapat empat komponen program yang akan kita laksanakan, terdiri komponen program yang bersifat pembangunan fasilitas/infrastruktur, pengembangan ekonomi alternatif, penguatan kapasitas masyarakat khususnya nelayan, dan melakukan langkah-langkah rehabilitasi ekosistem terumbu karang yang mengalami kerusakan,” jelasnya.
Menurut Rian, penguatan kapasitas masyarakat khususnya nelayan sangat penting agar nelayan memiliki pengetahuan terkait dampak perubahan iklim, serta bagaimana melakukan adaptasi terhadap perubahan zona, sirkulasi dan migrasi ikan. Sedangkan area terumbu karang yang akan direstorasi seluas 12 hektare.
“Nelayan di tiga negeri ini adalah nelayan tuna, tetapi zona tangkap tradisional mereka sudah bergeser karena perubahan iklim. Ini yang akan kita bantu lewat program pemetaan area fishing ground sehingga nelayan tahu wilayah penangakapan tuna,”kata Rian kepada wartawan.
Semuel E. Huwae, Asisten I Setda Maluku mengatakan, pemerintah daerah Provinsi Maluku (Pemprov) telah mengintegrasikan isu perubahan iklim ke dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Maluku tahun 2019-2024 melalui program unggulan Gubernur Maluku, seperti program kampung iklim, desa tangguh bencana dan pengelolaan lingkungan berbasis kearifan lokal sebagai salah satu bentuk dukungan pemerintah daerah terhadap isu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Berbagai dokumen perencanaan terkait perubahan iklim telah disusun oleh Pemprov Maluku, antara lain dokumen road map dan rencana aksi daerah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta dokumen Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD).
Menurut dia, persoalan perubahan iklim adalah tugas menantang sehingga membutuhkan komitmen kerja sama dan konektivitas yang kuat dari level pusat sampai daerah dengan usaha kolektif yang komprehensif.
“Misalnya, menggencarkan penghijauan secara tepat, pengendalian tata ruang secara lestari, pencegahan masif terhadap karhutla, menggalakkan penggunaan energi terbarukan dan mengurangi penggunaan energi fosil, menerapkan transportasi, dan pembangunan infrastruktur yang berwawasan lingkungan,” ungkap Huwae. (tab)
Dapatkan sekarang