Film Invisible Hopes: Potret Kehidupan Ibu dan Anak Dibalik Jeruji Besi 
Lamtiar Simorangkir dan Nadia Manuputty saat berbincang di studio Radio Ameks FM, pekan lalu.

Leonardo Sidabutar/Ambon Ekspres
Film Invisible Hopes: Potret Kehidupan Ibu dan Anak Dibalik Jeruji Besi 
Poster film Invisible Hope
Fb Lamtiar Simorangkir
Admin
01 Sep 2022 21:36 WIT

Film Invisible Hopes: Potret Kehidupan Ibu dan Anak Dibalik Jeruji Besi 

AMBON, AT.--Dinamika kehidupan perempuan hamil dan anak-anak yang terpaksa dilahirkan di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas), dituangkan dalam sebuah film dokumenter Invisible Hopes. Sang sutrdara sekaligus produser, Lamtiar Simorangkir tergugah hatinya melihat kehidupan perempuan yang mengandung hingga melahirkan di dalam lapas. 

Menurut perempuan yang akrab dipanggil Kak Tiar, itu perempuan yang mengandung  terjebak oleh sandiwara pasangannya, yang menempatkan diri perempuan pada posisi kurang menguntungkan. 

"Karena selama ini potret kehidupan perempuan yang mengandung dan melahirkan di dalam lapas tidak dilihat oleh negara dan tidak ada anggarannya. Riset ini, saya lakukan dari tahun 2017 dan di tahun 2021 lalu, diproduksi besar-besaran," katanya kepada Ambon Ekspres ketika berbincang di Radio AmeksFM, pekan lalu. 

Riset pembuatan film ini membutuhkan biaya tidak sedikit. Tiar di PHK dari tempat kerjanya dan mengharuskan menjual kendaraan dan hal lainnya, agar riset dan produksi film dokumenter tersebut tetap berjalan. 

Banyak rintangan dan tantangan untuk mendapatkan izin produksi film dokumenter selama di lapas. Namun, dirinya bersyukur, diberi kemudahan oleh Tuhan untuk mendapatkan izin produksi.

"Saya hampir menyerah untuk mendapatkan izin produksi ini. Tapi saya tetap optimis, hingga bantuan datang dari mana saja untuk dapatkan izin produksi ini. Dan film dokumenter ini, saya persembahkan kepada anak-anak yang lahir di dalam penjara," ujarnya. 

Lahirnya film dokumenter ini, berawal dari komunitas LAM HORAS Production yang mempunyai visi dan misi sama, yakni membuat film yang kaya pesan moral.

Pembuatan film ini, bukan asal-asalan saja. Dimana didalamnya menyoroti isu yang sedang terjadi ditengah masyarakat. Yang tidak terpikirkan oleh pemerintah baik daerah maupun pusat. 

Awalnya Invisible Hopes dibuat menjadi film pendek untuk menginformasikan kepada masyarakat bahwa ada anak yang lahir dan hidup di balik jeruji besi. Tetapi, dalam penggarapannya, berkembang menjadi sebuah film panjang berdurasi 1 jam 45 menit. Film ini tayang perdana di bioskop XXI pada 27 Mei 2021 lalu. 

"Mengangkat kasus menjadi sebuah karya seni, sungguh sangat membutuhkan perjuangan. Tidak mudah memang. Namun, akhirnya selesai juga. Dengan melibatkan seluruh instansi yang berkompeten didalamnya,"katanya.

Hasil penelitian kriminalogi dari salah satu universitas besar ternama di Jakarta, 2 persen--diperkirakan karena selama ini belum ada penelitian secara mendalam--narapidana perempuan ditangkap dalam kondisi hamil. Jadi kalau dihitung per tahunnya pada 2017 lalu, dirata-ratakan sekitar 250 hingga 300 anak lahir dalam penjara.

"Data yang saya minta dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) saat itu, belum terupdate. Sehingga, data tersebut masih simpang siur,"jelasnya. 

Dia menambahkan, rata-rata perempuan yang ditangkap itu, pasangannya mengonsumsi narkoba. Hubungan asmara ini sering terjadi dan menyeret perempuan ke hal yang tidak menguntungkan. 

Selama masa kehamilan, kondisi perempuan yang dipenjara sangat memprihatinkan. Tidak mendapatkan nutrisi maupun perhatian dari lapas. 

Hingga anaknya lahir pun, kondisinya seperti itu. Harus berbaur dengan narapidana lain. Dan hidup dalam sel kecil yang sempit, kehilangan kebebasan dan diperlakukan seperti narapidana umumnya. 

Mereka menjadi korban terselubung di antara suramnya kehidupan penjara dan perjuangan ibu mereka untuk bertahan hidup dalam penjara dengan cara apapun bahkan dengan cara yang tidak pernah terbayangkan. 

"Selain itu di dalam lapas banyak terjadi indikasi penjualan anak. Syukur, narapidana perempuan yang hamil, sanak keluarganya mau mengambil anaknya ketika lahir. Tapi kalau tidak, mereka kadang memberikan anaknya kepada orang yang tidak dikenal untuk mengasuh dengan meminta penggantian uang susu selama mereka menyusui. Nah, secara tidak langsung, hal tersebut masuk ke perdagangan anak (Human Trafficking)," tuturnya. 

Hingga saat ini, Tuhan mendengar doanya. Perjuangan dirinya selama ini, tidak sia-sia. Tair dikenalkan dengan Kedutaan Besar Swiss dan Kedutaan Besar Norwegia, yang rupanya memiliki program pendanaan terkait hak asasi manusia.

Permohonan pendanaannya disetujui, proyek film tersebut dilanjutkan. Film dokumenter “Invisible Hopes” dianugerahi Piala Citra untuk kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik dalam malam puncak Festival Film Indonesia (FFI) 2021 lalu.

Sementara itu, pegiat sosial, Nadia Manuputty, mengaku, setelah menonton film dokumenter ini, dirinya bertandang ke salah satu Lapas di Kota Ambon. 

"Saya melihat kondisi lapas perempuan saat itu sangat memprihatinkan. Dimana, kondisinya kumuh dan tidak terawat," tuturnya.

Dirinya saat itu berpikir, ketika terjadi kebakaran bagaimana. Apalagi jika ada anak di dalamnya? 

"Dan di lapas, saya lihat, jarang ada pendampingan psikologi terhadap narapidana perempuan apalagi yang sedang hamil. Ketika lahiran, otomatis, anak tersebut berteman dengan narapidana lain. Yang mana, anak tersebut memposisikan dirinya seperti mereka," imbuhnya.

Hal inilah, kata dia, yang mengkhawatirkan dirinya hingga saat ini. "Besar nanti, mau jadi apa itu anak?," tutupnya. (LMS)

Dapatkan sekarang

Ambon Terkini, Ringan dan cepat
0 Disukai