AMBON,AT.— Dunia saat ini menghadapi masalah yang kompleks, mulai dari konflik, ketegangan geopolitik, ketimpangan sosial, degradasi lingkungan, hingga dampak dari perkembangan teknologi. Pendekatan budaya dapat memperkuat solidaritas sosial, demokrasi, dan perdamaian berkelanjutan.
Pendapat tersebut mengemuka dalam diskusi terpumpun seri 6 dengan tema “Menadayagunakan Ekspresi dan Laku Budaya untuk Solidaritas Sosial dan Demokrasi” yang dislaksanakan Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), di auditorium Universitas Islam Negeri (UIN) Abdul Muthalib Sangadji Ambon, Selasa (23/9/2025). Diskus ini terselenggar atas kerja sama AIPI, UIN Abdul Muthalib Sangadji Ambon, Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Ambon, dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Rektor UIN Abdul Muthalib Sangadji Ambon, Dr. Abidin Wakano, dalam sambutannya mengatakan, tantangan pembangunan di Maluku pascakonflik 1999 bukanlah hal mudah. Pada satu sisi, berupaya untuk melakukan rekonsiliasi dan membangun perdamaian, namun di sisi lain pemerintah juga bergerak melakukan pembangunan sosial maupun fisik yang porak-poranda akibat konflik.
Salah satu tantangan yang menonjol ialah segregasi sosial, yang sebenarnya sudah ada sejak lama, namun semakin diperparah akibat konflik. Pada akhirnya, masyarakat Maluku hidup tersegregasi berdasarkan identitas dan komunitas masing-masing.
“Tapi segregasi di Maluku harus diterima sebagai sebuah keniscayaan. Lalu apa yang harus kita lakukan? Karena tidak lagi bisa memaksakan orang Batumerah tinggal di Kudamati, atau sebaliknya. Ini sebuah fakta sejarah,”ujar Abidin.
Olehnya itu, setelah konflik benar-benar merada, berbagai upaya dilakukan untuk memperkuat kohesi dan solidaritas sosial. Menurut Abidin yang juga salah satu tokoh perdamaian Maluku itu, ekspresi dan laku budaya Maluku melalui musik digelorakan kembali pada tahun 2005 lewat kolaborasi Tifa Sawat dan Totobuang—dua alat musik tradisional dari Maluku yang merepresentasikan komunitas Islam dan Kristen—dalam sebuah pertemuan pemuda lintas iman Asia Pasifik tahun 2005 untuk merajut kembali kohesi sosial masyarakat yang sudah tersegregasi.
Di ranah pendidikan, dilakukan kegiatan angkat pela lintas sekolah yang disebut dengan panas pela pendidikan, dan angkat pela antara UIN Abdul Muthalib Sangadji (dulu IAIN Ambon) dengan UKIM, dan angkat gandong dengan IAKN Ambon, yang bersumber dari kearifan lokal Pela Gandong sebagai media resolusi konflik.
“Karena itu, ekspresi kebudayaan menjadi semacam jembatan untuk menghubungkan segregasi yang ada. Harapan saya, kita jangan hanya mewarisi cerita-cerita konflik, tetapi juga mewarisi cerita-cerita baik dari upaya perdamaian ini kepada anak cucu kita,”pintanya.
Ketua Komisi Kebudayaan AIPI, Prof. M. Amin Abdullah, dalam sambutan pembukaan mengatakan, multikulturalisme dan pluralisme di Maluku maupun Indonesia pada umumnya adalah fakta sosial. Sedangkan segregasi di Maluku merupakan sebuah sunatullah atau hukum alam.
Agar masyarakat bisa tetap hidup dalam kohesi sosial yang kuat dan rasa damai berkelanjutan, lanjut Amin, diperlukan pendekatan yang tepat, salah satunya melalui pendekatan budaya. Ekspresi dan laku budaya dianggap penting sebagai jembatan ketika pendekatan agama dan etnis mulai melemah.
Budaya harus ada di tengah-tengah. Ketika pemerintah, ormas keagamaan sama-sama “bermasalah”—untuk tidak mengatakan lumpuh—maka masih ada satu kekuatan yaitu budaya yang berperan sebagai stabilisator dengan inovasi dan kreatifitas baru.
“Dari enam seri diskusi akan muncul tiga buku, dan pada saatnya kita akan kaji bersama sebagai warisan perdamaian untuk masyarakat Indonesia dan dunia. Untuk itulah, kami mengumpulkan akademisi, praktisi, aktivis dan pekerja perdamaian di sini untuk menceritakan pengalaman mereka dalam melakukan kerja-kerja kebudayaan dan kerja-kerja perdamaian,”pungkas Anggota Dewan Pengarah BPIP itu.
Sementara itu, Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa, melalui sambutan tertulisnya yang dibacakan Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesra, Djaludin Salampessy, mengatakan, kolaborasi yang produktif antara akademisi, budayawan dan lembaga negara akan menghasilkan produktivitas yang tinggi untuk bisa mendorong terjalinnya kebersamaan dan mendorong kegiatan-kegiatan budaya yang inklusif.
Gubernur mengaku, tem yang diangkat pada kegiatan ini sangat relevan dengan kondisi Maluku yang kaya dengan keberagaman budaya yang bukan sekadar warisan masa lalu, tapi kekuatan hidup yang membentuk identitas orang Maluku. Di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur kearifan lokal, dan etika sosial yang telah teruji melintasi berbagai zaman yang sampai sata ini terus dibahas untuk diwariskan kepada gerenasi muda sekarang dan akan datang.
Menurut Gubernur, Maluku memiliki ekspresi dan laku budaya yang telah terbukti mampu menjadi perekat sosial. Tradisi Pela Gandong, misalnya, tidak hanya mengatur hubungan sosial tetapi juga memupukan rasa perasaudaraan yang kuat di antara masyarakat, melampaui batas suku dan agama.
Begitu pun dengan tradisi sasi untuk menjaga keseimbangan alam dan mempraktekkan keadilan agar keberlanjutan dan dapat dinikmati oleh anak cucu ke depan. Nilai-nilai ini adalah pondasi kokoh bagi solidaritas di tengah tantangan globalisasi.
Gubernur berharap, diskusi terpumpun keenam dengan narasumber dari berbagai latar belakang akademisi, peneliti kebudayaan hingga praktisi kebijakan ini dapat melahirkan gagasan-gagasan konstruktif dan langkah konkret yang dapat implementasikan bersama.
“Saya yakin, dengan semangat kebersamaan kita bisa menjadikan Maluku sebagai provinsi yang maju, damai dan sejahtera yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan prinsip-prinsip demokrasi,”pungkasnya.
Melampaui Liberal Peacebuilding
Setelah pembukaan, diskusi terpumpun dilanjutkan dengan pemaparan materi dari dua pemantik utama, yakni Prof. Sumanto Al Qurtuby dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, dan Prof. Melani Budianta, anggota Komisi Kebudayaan AIPI dan juga akademisi Universitas Indonesia. Prof. Izak Y.M. Lattu dari Komisi Kebudayaan AIPI memoderasi diskusi tersebut.
Prof. Sumanto dengan judul materi “Do We Need a Post-Liberal Peacebuilding Framework?”, menerangkan konsep pembangunan perdamaian liberal yang banyak dirujuk oleh para aktivis, sarjana spesialis di bidang studi konflik dan perdamaian, terutama di barat.
Menurut Prof. Sumanto, setidaknya ada lima ciri dari kerangka perdamaian liberal. Pertama, menganggap perekonomian sangat penting sekali atau segalanya. Dengan kata lain, jika perekonomian masyarakat baik, perdagangan lancar dan bisa maju, secara otomatis perdamaian akan terwujud.
Kedua, perdamaian tidak bisa dilepaskan dengan demokrasi liberal. Jika sebuah negara menerapkan prinsip demokrasi liberal, maka perdamaian secara otomatis akan terwujud dalam masyarakat. “Nah, tidak cuma demokrasi liberal, tapi juga ekonomi kapitalisme atau ekonomi berbasis pasar. Itu juga menjadi hal penting untuk mewujudkan demokrasi, menurut pendekatan ini,”ungkapnya.
Sedangkan ciri ketiga ialah, adanya institusi-institusi atau lembaga yang menjamin terselenggaranya aktivitas sosial, politik, dan ekonomi di masyarakat. Dengan kata lain, demokrasi liberal menjadi pemicu utama untuk menciptkan sebuah perdamaian di masyarakat.
Keempat, bila negara sudah menjalankan nilai-nilai demokrasi, perdamaian akan terwujud. Kemudian, perdamaian akan menjadi sebuah realitas jika masyarakat memiliki kontrol terhadap keputusan ekonomi maupun keputusan politik. Dengan kata lain, masyarakat dilibatkan dalam pemilu dan pengambilan kebijakan publik.
“Berikutnya, menurut pendekatan ini, bahwa individu-individu di masyarakat secara otomatis punya keinginan untuk menciptakan rasa perdamaian. Jadi, perdamaian akan terwujud dengan mudah karena pada dasarnya individu memiliki keinginan kuat untuk menjadi damai,”papar dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi itu.
Namun, kerangka pembangunan perdamaian liberal punya kelemahan. Menurut Sumanto, kehadiran demokrasi liberal, pengembangan ekonomi dan civil society (masyarakat) tidak secara otomatis menciptakan stabilitas sosial dan perdamaian di masyarakat.
Selain itu, tidak semua anggota masyarakat memiliki niat yang baik dan positif untuk mewujudkan perdamaian. Pendekatan ini juga menyimpulkan, kalau masyarakat sudah terlibat memberikan pilihan politik pada pemilu, misalnya, maka secara otomatis terwujud perdamaian.
Tetapi faktanya, pemilu tidak manfaatkan untuk memilih pemimpin yang baik, dan menciptakan struktur masyarakat yang baik tapi justru menimbulkan kegaduhan politik yang bisa menyebabkan kekerasan dalam berbagai dimensi. Akibatnya, tidak terciptanya sebuah masyarakat dan institusi (pemerintah) yang kuat, seperti yang cita-citakan.
Kerangka pembangunan perdamaian liberal juga tidak mengantisipasi keragaman berbagai macam kelas individu, sebab tidak semua individu memiliki niat yang baik dan positif untuk membangun sebuah sistem masyarakat yang lebih baik.
Selain itu, banyak aktor dalam masyarakat sipil justru menjadi pembuat kekerasan—alih-alih menjadi aktor perdamaian. Kelemahan lainnya, kerangka pembangunan perdamaian dengan pendekatan liberal sama sekali tidak memperhitungkan pentingnya agama dan kebudayaan dalam kerja-kerja perdamaian.
“Orang Barat bilang bulshit (omong kosong) , dengan kata lain agam dan budaya yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan persoalan-persoalan perdamaian,”jelas akademisi yang melakukan penelitian doktoralnya tentang sejarah dan dinamika konflik dan kekerasan Kristen-Muslim di Ambon serta propek perdamaian bagi kedua kelompok agama, itu.
Olehnya itu, menurut Sumanto, perlu adanya pendekatan-pendekatan baru untuk membangun perdamaian. Antara lain, menguatkan kontribusi agama dan ekspresi kebudayaan lokal, memahami dan menyelesaikan batasan dan kelemahan agama dan ekspresi budaya lokal, memikirkan penggabungan konsep sekularisme dan agama, dan antara politik dan kebudayaan, serta membangun sebuah sistem politik dan masyarakat ‘post-liberal peacebuilding framework’.
Kearifan Lokal untuk Perdamaian
Sementara itu, mantan Rektor IAIN Ambon, Prof. Hasbollah Toisuta mengatakan, Indonesia dengan kekuatan budayanya dapat dieksplorasikansebagai elemen fungsional untuk membangun perdamaian. Dalam konteks Maluku, budaya dapat menjadi alat rekonsiliasi dan pemersatu serta sangat penting dalam proses rekonstruksi dan reintegrasi masyarakat.
Ia menyatakan, segregasi berbasis agama masih menjadi kenyataan yang mesti disikapi secara bersama. Dampaknya, minimnya interaksi lintas agama, melemahnya budaya orang basudara, streotipe dan propaganda, hilangnya ruang kolaborasi, dan rentan terhadap konflik.
Sedangkan dampak trauma dan ketakutan psikologi, yakni memori kolektif tentang konflik dapat menimbulkan perasaan ingrup dan outgrup, pewarisan narasi-narasi konflik masih ada, kegiatan bersama seperti festival atau olahraga kadang diwarnai dengan sikap hati-hati, pergaualan sosial menjadi terbatas sehingga jarak emosional antargama tetap terjaga, dan masing-masing komunitas merasa nyaman di lingkungannya sendiri.
Olehnya itu, perlu refleksi kritis atas berbagai upaya perdamaian yang telah dilakukan selama ini. Hasbollah mengungkapkan, dalam tradisi Islam dan Kristen di Maluku, terdapat nilai-nilai seperti rahmat, kasih sebagai inti kehidupan beragama.
Nilai-nilai ini memiliki pijakan kokoh dalam budaya Pela Gandong, Aini Ain, Wari-Wa, Kalwedo, Kidabela, Kaywait, dan lain sebagainya. Jika nilai-nilai ini dihidupkan dalam praktik sosial budaya, bangunan kehidupan sosial akan dipulihkan dan bahkan diperkuat sebagai pondasi perdamaian yang berkelanjutan.
“Dalam persepktif tersebut, agama sejatinya harus dapat merespons berbagai khasanah kearifan budaya masyarakat. Dalam budaya hidup orang basudara (Salam-Sarane), ale rasa beta rasa, potong di kuku rasa di daging, sagu salempeng dipatah dua, itulah perdamaian abadi bisa dirajut. Pada perspektif ini, maka diperlukan transformasi pemikiran keagamaan,”ujar salah satu penandatangan perjanjian damai di Malino tersebut.
Selain Prof. Hasbollah Toisuta, belasan aktivis perdamaian dari berbagai latar belakang yakni akademisi, jurnalis, seniman, pendeta, masyarakat adat, dan peneliti serta pekerja NGO diberikan kesempatan untuk jadi pembicara pada diskusi tersebut. Mereka adalah Zakiyah Samal, Hanok Saiyaraman, Embong Salampessy, Ayi Nurdin, Rance Alfons, Yusnita Tiakoly, Piet Wairisal, Eka Dahlan Uar, Farid Latif, Ruth Saiya, dan Weslly Johannes.
Diskusi terpumpun ini telah dilaksanakan sebanyak kali, terakhir di Ambon. AIPI berencana membuat beberapa buku dari hasil diskusi terpumpun tersebut, sebagai sebuah warisan budaya dan pengetahuan bagi Indonesia dan dunia. (tab)
Dapatkan sekarang